Lama Baca 3 Menit

Jepang Bantu 87 Perusahaan Keluar dari Tiongkok Pasca Pandemi COVID-19

23 July 2020, 14:36 WIB

Jepang Bantu 87 Perusahaan Keluar dari Tiongkok Pasca Pandemi COVID-19-Image-1

Pabrik Nissan Jepang - Image from Gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami.

Tokyo, Bolong.id – Dilansir dari The Nation News, Jepang menolong 87 perusahaannya untuk mengalihkan produksi kembali ke rumah atau ke Asia Tenggara setelah COVID-19 mengganggu rantai pasokan ketergantungan pada manufaktur Tiongkok.

Sementara ekonomi Tiongkok sudah pulih dari goncangan COVID-19, namun pandemi ini masih bisa mengancam reputasinya sebagai pabrik dunia setidaknya di beberapa industri.

Perusahaan mobil Jepang, Nissan, terpaksa untuk sementara waktu menghentikan produksinya di pabrik Jepang pada Februari 2020 lalu karena kekurangan suku cadang dari Tiongkok.

Sementara perusahaan barang konsumen Jepang, Iris Ohyama, tidak mampu memenuhi lonjakan permintaan lokal untuk masker setelah pasokan ke pabriknya di Tiongkok terganggu dan kontrol ekspor keluar dari Tiongkok diperketat.

Jepang Bantu 87 Perusahaan Keluar dari Tiongkok Pasca Pandemi COVID-19-Image-2

Produk masker Iris Ohyama - Image from Gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami.

Maret 2020 lalu, PM Jepang Shinzo Abe mengatakan pemerintah ingin membawa pulang produksi ke Jepang dan melakukan diversifikasi ke Asia Tenggara.  Bulan berikutnya, pemerintah menyiapkan USD2,2 miliar atau sekitar Rp31 triliun dalam paket pemulihan ekonomi COVID-19 untuk mensubsidi proses tersebut.

Sekarang 57 perusahaan menerima total USD535 juta atau sekitar Rp7,7 triliun untuk membuka pabrik di Jepang dan 30 lainnya dibayar untuk memperluas produksi di Myanmar, Vietnam, Thailand, dan negara Asia Tenggara lainnya. 

Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Jepang, tetapi Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang telah berusaha selama beberapa tahun untuk mengurangi ketergantungan pada negara tetangga besarnya itu. Hal ini akibat biaya upah yang lebih tinggi, serta peraturan lingkungan yang lebih ketat di Tiongkok. Ditambah baru-baru ini tarif lebih tinggi untuk ekspor dari Tiongkok ke AS. (*)