
Warga mengikuti aksi protes di depan kediaman resmi perdana menteri Jepang di Tokyo, Jepang, pada 28 November 2025. (Xinhua/Jia Haocheng)
KUALA LUMPUR, 18 Desember (Xinhua) -- Revisionisme sejarah yang bertujuan untuk mendorong agenda-agenda berbahaya berisiko merusak tatanan pasca-Perang Dunia II yang telah diperjuangkan dengan susah payah serta menimbulkan risiko konfrontasi dan fragmentasi global, kata seorang akademisi Malaysia.
Dalam pernyataannya pada Forum Internasional tentang Asia Inklusif Baru (International Forum On New Inclusive Asia) belum lama ini, Ketua Pusat Asia Inklusif Baru Ong Tee Keat menuturkan bahwa di saat banyak perekonomian masih terpukul oleh tindakan disruptif Amerika Serikat terhadap perdagangan global, pernyataan terbaru Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi soal Taiwan di China semakin membayangi perdamaian dan stabilitas yang telah terjaga selama 80 tahun terakhir.
"Dengan latar belakang suram dari perdamaian kita yang kian rapuh, setiap upaya untuk 'melepaskan' kembali para dalang Perang Dunia II yang sudah pernah dikalahkan, untuk alasan strategis apa pun, berisiko memberikan mereka kebebasan penuh untuk menghidupkan kembali militerisme. Konsekuensinya akan sangat merugikan bagi dunia, khususnya bagi perekonomian emerging dan negara-negara berkembang," paparnya.
Ong juga mendesak semua negara, terutama negara-negara Global South, untuk melanjutkan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip Konferensi Asia-Afrika 1955, terutama dalam menghindari campur tangan dalam urusan internal negara lain.
Selain itu, dia menambahkan bahwa munculnya kelompok dan organisasi regional baru seperti kelompok antarpemerintah BRICS akan menyediakan platform bagi Global South, yang berupaya untuk menciptakan platform kerja sama internasional yang adil dan setara. Selesai
Advertisement
