Bukti Pemotongan Sirip Hiu di Atas Kapal - Image from : gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami
Beberapa nelayan Indonesia yang pernah bekerja di kapal ikan Tiongkok "Long Xing 629" memberikan laporan kepada Yayasan Keadilan Lingkungan Korea Selatan (韩国环境正义基金; Environmental Justice Foundation; EJF) dan Lembaga Hukum Kesejahteraan Masyarakat Korea (韩国公益法律中心), bahwa ada empat nelayan di kapal yang sama meninggal setelah sakit karena kapten menolak untuk kembali ke Hong Kong untuk memberikan perawatan medis.
Sejumlah nelayan mengatakan bahwa beberapa minggu sebelum keempat nelayan tersebut meninggal, mereka memiliki gejala penyakit seperti pembengkakan, nyeri dada dan kesulitan bernapas. Tiga jenazah dimakamkan dengan cara dilempat ke laut pada hari kematian mereka, tetapi dalam kontrak, pemilik kapal seharusnya bertanggung jawab untuk mengembalikan jenazah. Seorang nelayan lain juga meninggal saat karantina di Korea Selatan setelah dicurigai tertular virus COVID-19.
Para nelayan berspekulasi bahwa penyebab kematian mungkin terkait dengan air minum mereka, karena kapal penangkap ikan beroperasi di laut hingga satu tahun lamanya, dimana ABK Tiongkok mendapat fasilitas minum air tawar dalam botol, sementara ABK Indonesia hanya dapat minum air laut. Beberapa nelayan juga mengungkapkan bahwa kapten Tiongkok telah memperkosa setidaknya dua anggota ABK Indonesia, dan para nelayan dipaksa untuk bekerja selama 18 jam sehari, kadang-kadang bahkan selama dua hari berturut-turut tanpa istirahat.
Menurut kontrak, gaji bulanan nelayan harusnya $300 (sekitar 4,5 juta rupiah), sementara banyak nelayan hanya mendapatkan $42 (sekitar 636 ribu rupiah) setiap bulannya, yang akan dikurangi biaya dan deposit ketika mereka dipekerjakan, bahkan beberapa nelayan tidak bisa mendapatkan $300 setelah bekerja selama setahun. Menurut laporan tersebut, upah yang diberikan bukan hanya pelanggaran kontrak, tetapi juga merupakan bentuk dari kerja paksa.
Para nelayan juga menyediakan video dan foto-foto bukti pemotongan sirip hiu di atas kapal, yang mengatakan bahwa meskipun terdaftar sebagai kapal penangkap ikan tuna jangka panjang, tetapi kapal tersebut menggunakan alat tangkap khusus untuk menangkap ikan paus ilegal berskala besar, yang telah menangkap lebih dari 20 ikan hiu dalam sehari, termasuk spesies hiu yang diduga sedang terancam punah. Ketika mereka tiba di pelabuhan, ada lebih dari 16 sirip ikan hiu di kapal, masing-masing seberat 45 kg. Meskipun Tiongkok tidak memiliki peraturan tentang pemotongan sirip dan pembuangan tubuh hiu, operasi semacam ini telah melanggar peraturan organisasi manajemen perikanan internasional.
Menanggapi keluhan di atas, pihak Korea Selatan meminta pemerintah Tiongkok dan pihak internasional untuk segera mengambil tindakan yang tepat guna menyelidiki kapal penangkap ikan tersebut, dan mengklarifikasi penyebab kematian empat nelayan dan eksploitasi tenaga kerja, serta penangkapan ikan ilegal.