Jakarta, Bolong.id - Para pemerhati lingkungan di Indonesia menyerukan pembatalan undang-undang kontroversial yang ditujukan pada penciptaan lapangan kerja karena dianggap menguntungkan kepentingan bisnis dengan mengorbankan lingkungan dan tenaga kerja.
Indonesia, penghasil minyak sawit dan bijih nikel terbesar di dunia untuk baterai kendaraan listrik, memiliki hutan yang lebih luas daripada di mana pun di luar Amazon dan Kongo, dan para pecinta lingkungan mengatakan cadangan alam yang melimpah di negara ini dapat dieksploitasi di bawah undang-undang baru tersebut, dilansir dari Reuters, Minggu (11/10/2020).
Reformasi tersebut terkandung dalam "Omnibus Law", RUU perubahan di lebih dari 70 undang-undang yang memungkinkan parlemen untuk memberikan suara dalam satu gerakan dan mengesahkan langkah tersebut pada hari Senin (12/10/2020). Ribuan orang pun turun ke jalan-jalan di kota di seluruh Indonesia selama tiga hari terakhir, sebagai bagian dari protes dan pemogokan nasional terhadap hukum tersebut.
Pemerintah mengatakan undang-undang ini diperlukan untuk meningkatkan iklim investasi dan menciptakan lapangan kerja di ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Di sisi lain, juga mengatakan lingkungan akan dilindungi.
Berikut beberapa perubahan aturan lingkungan:
Izin analisis dampak lingkungan (Amdal)
Undang-undang baru menggabungkan persetujuan izin usaha dengan izin lingkungan. Untuk mendapatkan izin lingkungan di bawah undang-undang sebelumnya, perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam harus membuat Amdal, sebuah studi untuk menilai dampak investasi terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Proses Amdal yang baru telah menghapus persyaratan bagi perusahaan untuk berkonsultasi dengan ahli lingkungan dengan hanya mengizinkan “masyarakat yang terkena dampak langsung” untuk memberikan masukan untuk penilaian.
“Tentu, itu (Amdal) masih ada, tapi itu melemah,” pungkas Asep Komaruddin, juru kampanye hutan senior di Greenpeace. Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa melemahkan undang-undang lingkungan sekarang akan menimbulkan lebih banyak risiko bagi perusahaan karena izin usahanya juga akan dipertaruhkan.
Area hutan minimum
Undang-undang sebelumnya mengharuskan pulau-pulau di Indonesia memiliki cakupan hutan minimal 30%. Persyaratan ini telah dihapus, menimbulkan kekhawatiran bahwa perkebunan kelapa sawit dan perusahaan pertambangan dapat meningkatkan pembukaan lahan secara drastis.
Undang-undang tersebut membahayakan provinsi seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, di mana merupakan rumah bagi perkebunan kelapa sawit besar-besaran, dan Indonesia diperkirakan akan kehilangan hutan alam dalam waktu 20 tahun, kata kelompok lingkungan The Sustainable Madani Foundation.
“Kehilangan hutan lebih dari sekadar kehilangan pelindung pohon,” ungkap Teguh Surya, direktur eksekutif yayasan. “(Ini juga berarti) meningkatnya intensitas kebakaran hutan, banjir dan tanah longsor, gagal panen, kekurangan air bersih.”
Bambang Hendroyono, seorang pejabat kementerian lingkungan, mengatakan ambang batas 30% sebelumnya "tidak ilmiah" dan akan diganti dengan metrik baru. Undang-undang baru menyerukan kawasan hutan minimum untuk didasarkan pada "geofisika", dan "kondisi sosial ekonomi", tetapi tidak memberikan rincian apapun.
Hukuman atas kebakaran hutan dan pembuangan limbah
Dalam peraturan sebelumnya, perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di dalam konsesinya, meskipun tidak ada bukti bahwa perusahaan itu bersalah. Ini dikenal dalam istilah hukum sebagai "tanggung jawab ketat".
Ahli lingkungan mengatakan kata-kata dari bagian itu tidak jelas di bawah undang-undang baru dan bukti kesalahan sekarang diperlukan untuk menuntut perusahaan. Para pejabat mengatakan ini untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelidikan kriminal tetapi para pencinta lingkungan khawatir hal itu melemahkan pasal yang biasa digunakan untuk menuntut perusahaan atas kebakaran hutan yang disebabkan oleh kelalaian.
Undang-undang baru juga menghapus hukuman pidana atas penanganan ilegal limbah beracun. “Pembuangan (limbah beracun) ilegal di Amerika, Belanda, Eropa, bahkan Tiongkok. Dulu di Indonesia, tapi sekarang tidak lagi,” kata Andri Wibisana, guru besar hukum Universitas Indonesia.
Meskipun undang-undang baru tidak secara khusus mengkriminalisasi pembuangan limbah beracun ilegal, undang-undang tersebut menuntut mereka yang membuang limbah beracun yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Investor juga melawan
Bank seperti Citibank dan ANZ mengatakan jika UU Cipta Kerja baru diterapkan dengan baik, akan ada iklim investasi yang lebih baik untuk Indonesia. Namun, 35 investor global yang mengelola aset senilai USD4,1 triliun telah memperingatkan bahwa undang-undang baru tersebut dapat menjadi bumerang mengingat meningkatnya keinginan investor untuk perlindungan lingkungan.
“Upaya untuk merangsang investasi asing dengan... mengurangi pembatasan pembukaan lahan di konsesi kelapa sawit, berlawanan dengan intuisi,” terang juru bicara Sumitomo Mitsui Trust Asset Management, bagian dari aliansi investor.
Penolakan mereka terhadap undang-undang tersebut, tidak berarti mereka akan membuang aset Indonesia yang mereka miliki, tetapi undang-undang tersebut dapat menurunkan daya tarik pasar Indonesia.
Satu Kahkonen, Kepala Perwakilan Bank Dunia Indonesia dan Timor Leste, mengatakan pada bulan Juli 2020 bahwa reformasi tersebut akan "menjauhkan peraturan lingkungan Indonesia dari praktik terbaik internasional dan ini pada dasarnya tidak membantu Indonesia". (*)
Advertisement