Lama Baca 7 Menit

Dubes Republik Rakyat China untuk RI Uraikan Inisiatif-inisiatif Penting Usulan China dan Perannya dalam Tata Kelola Global (Bagian 3)

01 July 2023, 17:45 WIB

Dubes Republik Rakyat China untuk RI Uraikan Inisiatif-inisiatif Penting Usulan China dan Perannya dalam Tata Kelola Global (Bagian 3)-Image-1
Foto yang diabadikan pada 26 Juni 2023 ini menunjukkan Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok untuk Republik Indonesia Lu Kang menyampaikan pidato mengenai upaya Tiongkok dalam mendorong perdamaian di Timur Tengah maupun seluruh dunia serta peran serangkaian inisiatif penting yang diusulkan Tiongkok dalam tata kelola global, di Universitas Indonesia. (Xinhua/Xu Qin)

Sebuah tren yang berbahaya adalah bahwa negara tertentu mencoba menghambat pembangunan negara lain dengan dalih ideologi atau keamanan nasional, serta menerapkan pemisahan (decoupling) atau apa yang disebut sebagai pengurangan risiko (de-risking) pada masyarakat internasional. Dalam melakukannya, mereka tanpa rasa malu menerapkan standar ganda, yaitu dengan mengklaim bahwa mereka berhak untuk "mengurangi risiko" pada negara lain, tetapi negara lain tidak berhak melakukannya pada mereka. Ini merusak hubungan ekonomi normal dan tatanan ekonomi yang secara umum diterima oleh masyarakat internasional.

Enam hari yang lalu, dalam kunjungannya ke Jerman, Perdana Menteri (PM) Tiongkok Li Qiang mengindikasikan bahwa teknologi dan produk dari perusahaan-perusahaan Jerman, seperti Volkswagen dan Siemens, telah lama digunakan secara luas di Tiongkok, dan masyarakat Tiongkok tidak pernah merasa tidak aman ataupun terancam, apalagi mencoba "mengurangi risiko". Kanselir Scholz juga memberikan tanggapan dengan menyambut perusahaan-perusahaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) Tiongkok untuk berinvestasi di Jerman, menanti untuk mengendarai EV buatan Tiongkok di Jerman. Kanselir Scholz juga tidak percaya bahwa komunitas bisnis Jerman akan menganggap Tiongkok sebagai "risiko". Negarawan yang bertanggung jawab tentu saja memiliki sikap yang sangat tegas mengenai kepentingan nasional fundamental mereka dan tidak akan pernah mengambil langkah berbahaya dengan mengorbankan pembangunan negara mereka sendiri.

Beberapa rekan Indonesia saya mengatakan kepada saya bahwa Indonesia telah banyak menerima manfaat dari kerja sama OBOR, tetapi kini dihadapkan pada inisiatif yang jelas-jelas dirancang untuk bersaing dengan kerja sama investasi Tiongkok, seperti Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investasi Global (Partnership for Global Infrastructure and Investment/PGII), Kerangka kerja Ekonomi Indo-Pasifik (Indo-Pacific Economic Framework/IPEF), dan Kemitraan Transisi Energi Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP). Saya menjelaskan kepada rekan-rekan Indonesia saya bahwa kerja sama OBOR Tiongkok bertujuan untuk mencapai pembangunan bersama dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan inisiatif pembangunan lainnya. Sebaliknya, kami menyambut negara lain, terutama yang memiliki kapabilitas lebih besar, untuk berkontribusi dalam investasi dan bantuan bagi negara-negara berkembang. Kami berharap komitmen investasi yang dijanjikan dalam PGII, IPEF dan JETP dapat segera dipenuhi. Inisiatif Tiongkok dalam kerja sama pembangunan terbuka bagi semua, tanpa pernah mengecualikan siapa pun. Pada dasarnya, ini berbeda dari beberapa inisiatif yang disebutkan di atas. Justru, kami menyambut lebih banyak mitra untuk berpartisipasi dalam kerja sama OBOR dan GDI!

—— Inisiatif Keamanan Global (Global Security Initiative/GSI)

Pada April 2022, tak lama setelah krisis Ukraina, Presiden Xi Jinping mengemukakan GSI. Berfokus pada isu keamanan global yang menjadi perhatian bersama, GSI menyarankan agar kita menjunjung tinggi visi keamanan bersama yang komprehensif, kooperatif, dan berkelanjutan, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara, berkomitmen pada tujuan dan prinsip Piagam PBB, memandang serius masalah keamanan yang sah dari semua negara, mengatasi perbedaan dan perselisihan antarnegara secara damai melalui dialog dan konsultasi, serta menjaga keamanan, baik di ranah tradisional maupun non-tradisional.

Hari ini adalah peringatan Hari Penandatanganan Piagam PBB. Tepat 78 tahun yang lalu, Piagam PBB ditandatangani di San Francisco. Tiongkok merupakan negara pertama yang menandatanganinya. Kami selalu mematuhi Piagam PBB dan norma hukum internasional yang diterima secara luas. Kami selalu meminta mereka yang mengusulkan apa yang disebut "tatanan internasional yang berbasis aturan" untuk mengklarifikasi apakah yang mereka sebut dengan "aturan" itu identik dengan Piagam PBB. Sama halnya dengan sebagian besar negara lain, kami tidak dapat menerima apa yang disebut sebagai "aturan" yang ditulis, ditafsirkan, dan dipilih oleh negara atau kelompok kecil manapun secara sepihak. Tidak ada negara atau kelompok kecil yang berhak memaksakan "aturan" semacam itu kepada masyarakat internasional atas nama "aturan internasional".

Salah satu isi utama dalam norma dasar hubungan internasional adalah prinsip untuk menghormati kedaulatan nasional dan integritas wilayah negara lain, serta tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain sebagaimana diatur dengan jelas dalam Bab I Piagam PBB. Dapat dikatakan bahwa prinsip inilah yang paling dihargai oleh negara-negara berkembang.

Beberapa rekan Indonesia bertanya kepada saya mengenai situasi di Selat Taiwan. Saya sangat gembira karena sebagian besar rekan Indonesia dengan jelas memahami sifat dari masalah Taiwan. Sama halnya dengan masalah Papua bagi Indonesia, masalah Taiwan menyangkut kepentingan inti Tiongkok dalam hal kedaulatan dan integritas wilayah. Saya sangat mengapresiasi bahwa sebagian besar rekan Indonesia saya tidak memercayai kekeliruan bahwa "Tiongkok sedang mengubah status quo di Selat Taiwan", yang merupakan fitnah belaka dari negara-negara tertentu.

Dalam hal ini, kita harus memahami akar masalahnya. Apa "status quo" dari masalah Taiwan? Status quo fundamentalnya adalah, pertama-tama, Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok tidak pernah merupakan sebuah negara, tidak pernah di masa lalu, tidak pula di saat ini. Hal itu ditegaskan oleh instrumen hukum internasional, seperti Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam, yang meletakkan fondasi bagi hubungan internasional pascaperang. Yang kedua, kedua sisi Selat Taiwan belum mencapai reunifikasi secara utuh, tetapi kedaulatan dan integritas wilayah Tiongkok tidak pernah dan tidak dapat dipisahkan. Hanya ada satu Tiongkok. Hal ini dengan jelas ditetapkan dalam dokumen hukum di kedua sisi Selat Taiwan.

Anda sangat menyadari bahwa masalah Taiwan menjadi masalah yang paling penting dan sensitif dalam hubungan Tiongkok-AS. Kami harus menunjukkan bahwa komitmen yang dibuat oleh pemerintah AS dalam masalah Taiwan juga sangat jelas. Itulah prinsip Satu Tiongkok yang terkandung dalam ketiga Komunike Bersama Tiongkok-AS, yang secara khusus merupakan janji AS untuk tidak mengupayakan kebijakan "dua Tiongkok" atau "satu Tiongkok, satu Taiwan" sebagaimana terkandung dalam paragraf 5 Komunike Bersama Tiongkok-AS 1982. Hal yang harus dilakukan AS adalah mematuhi komitmennya serta berhenti memanipulasi kekuatan dan gerakan separatis di Pulau Taiwan untuk menciptakan ketegangan dan krisis.