Lama Baca 4 Menit

Dalam Kontrak Studi di Luar Negeri, Apakah Epidemi Termasuk Force Majeure?

25 July 2020, 11:55 WIB

Dalam Kontrak Studi di Luar Negeri, Apakah Epidemi Termasuk Force Majeure?-Image-1

Ilustrasi Pelajar Tiongkok Melanjutkan Studi di Luar Negeri - Image from Gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami.

Tiongkok, Bolong.id – Dilansir dari Sohu News, COVID-19 tidak hanya mengganggu rencana studi pelajar internasional, tetapi juga menyebabkan banyak perselisihan. Baru-baru ini, seorang pelajar Beijing membuat laporan ke Platform Pengaduan Laporan Kualitas (质量报告投诉平台) bahwa karena COVID-19, tes bahasa tidak dapat dilakukan.

Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk menyerah belajar di luar Tiongkok dan prosedur aplikasi belum selesai. Kontrak dapat diakhiri karena force majeure, tetapi perusahaan agen studi di luar negeri menolak untuk mengembalikan jumlah penuh dari biaya layanan sebesar CNY30.000 atau sekitar Rp62 juta.

Dalam hal ini, staf layanan pelanggan dari Beijing New Oriental Future Overseas Consulting Co, Ltd, (北京新东方前途出国咨询有限公司) agen studi luar negeri yang terlibat, mengatakan bahwa jika tidak dapat pergi ke luar negeri karena dampak COVID-19 diperlukan pemberitahuan dari sekolah asing atau kebijakan luar negeri tertentu. Jika bukan faktor force majeure, pengembalian uang hanya mencapai 50% saja.

Menanggapi perselisihan kontrak selama COVID-19, pengacara Dou Xianshang (窦贤尚) mengatakan bahwa menurut undang-undang kontrak Tiongkok, COVID-19 harus menjadi force majeure karena tidak dapat diprediksi, tidak dapat dihindari dan tidak dapat diatasi. Jika tes bahasa tidak dapat dilakukan karena epidemi dan persyaratan penerimaan tidak dapat dipenuhi, itu harus menjadi faktor force majeure.

Hal ini dapat digunakan sebagai alasan yang sah dan sah bagi para pihak untuk mengakhiri kontrak atau membebaskan para pihak dari tanggung jawab atas pelanggaran kontrak. Namun secara spesifik, tetap harus didasarkan pada kesepakatan tentang faktor force majeure dalam kontrak.

Pelajar Beijing yang disebutkan di atas, terpaksa menunda studi PhD nya ke Korea Selatan akibat COVID-19. Namun menurutnya, karena tidak ada ketentuan dalam kontrak bahwa jika ada epidemi, perang, dan faktor force majeure lainnya, ia tidak bisa mengurus pengembalian biaya. Terpaksa ia tidak dapat melanjutkan aplikasi pendaftaran. Hal terburuk adalah ia tidak dapat mengikuti tes bahasa Korea, dan tidak akan memenuhi persyaratan penerimaan.

Lalu, apakah epidemi termasuk faktor force majeure?

Dou Xianshang (窦贤尚) mengatakan, dalam kejadian seperti ini, jika seorang pelajar tidak dapat mengambil tes bahasa karena epidemi, dan dengan demikian gagal memenuhi persyaratan penerimaan, maka hal ini harus menjadi force majeure yang tidak dapat diramalkan, tidak dapat dihindari dan tidak dapat diatasi oleh pelajar, perantara dan sekolah, dan dapat digunakan sebagai alasan pihak untuk mengakhiri kontrak.

Meski demikian, ia menekankan bahwa dampak epidemi terhadap kontrak juga tidak dapat digeneralisasi, dan harus ada perjanjian kontraktual kedua belah pihak sebelumnya. Khususnya, jika agen studi telah menyatakan dalam kontrak bahwa pelajar tidak dapat mendaftar karena masalah agen, agen tersebut harus memotong biaya wajar yang sesuai.

Sebaliknya jika disebabkan oleh epidemi, pelajar meminta pengembalian uang penuh dari agen, atau kedua belah pihak dapat menegosiasikan pengembalian uang sebagian. (*)