Lama Baca 4 Menit

Menyimak Penggambaran China Oleh Media dan Pemerintah Indonesia

27 January 2022, 06:00 WIB

Menyimak Penggambaran China Oleh Media dan Pemerintah Indonesia-Image-1

Berbagai representasi media tentang China - Image from berbagai sumber. Segala keluhan terkait hak cipta silahkan hubungi kami

Jakarta, Bolong.id - Dalam sebuah artikel jurnal yang terbit dalam British Journal of Chinese Studies, Senia Febrica dan Suzie Sudarman, peneliti ahli dari Pusat Kajian Amerika di Universitas Indonesia menganalisis tentang representasi Tiongkok oleh media dan pemerintah Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui analisis isi dokumen pemerintah dan laporan media dari tahun 2008-2015.

Menggunakan wawancara semi-terstruktur dan analisis isi dokumen pemerintah dan artikel surat kabar, artikel ini menyajikan bukti empiris yang seringkali masih kurang dalam penelitian mengenai persepsi atau representasi Tiongkok. Penelitian ini pun menjadi penting mengingat Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara yang memiliki aspirasi kepemimpinan regional tersendiri.

Berdasarkan hasil riset analisis konteks yang mereka lakukan, Indonesia menggambarkan hubungan Sino-Indonesia dan kepemimpinan Tiongkok di Asia Tenggara secara ambigu. Di satu sisi, media dan pemerintah Indonesia sering menyebut Tiongkok sebagai mitra strategis yang dapat memberikan peluang ekonomi. Di sisi lain, Indonesia menggambarkan Tiongkok sebagai kekuatan yang “kurang ramah” karena aktivitas militer Beijing yang berkembang di Laut Tiongkok Selatan, implikasi negatif dari kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian Indonesia, dan kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan proyek infrastruktur pelabuhan bersama untuk kegiatan militer Tiongkok.

Dari analisis laporan media, dokumen pemerintah, dan wawancara dengan pejabat Indonesia yang Senia dan Suzie lakukan, ada tiga poin penting yang mereka simpulkan. Pertama, lewat analisisnya terhadap artikel yang diterbitkan oleh Jakarta Post dan Kompas, terlihat bahwa Tiongkok lebih sering digambarkan secara positif. Penggunaan kata “opportunity/opportunities (kesempatan)” dan “benefit/beneficial (keuntungan/menguntungkan)” sering muncul dan representasi negatif Tiongkok baru dimulai pada 2010 ketika ACFTA mulai berlaku.

Kedua, kata “ancaman” banyak digunakan baik di Jakarta Post maupun Kompas untuk merujuk pada perilaku agresif Tiongkok dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan. Dari 2008 hingga 2010, artikel yang diterbitkan di kedua surat kabar
itu tidak menyebut Tiongkok sebagai ancaman di Laut Tiongkok Selatan. Namun, antara tahun 2013 dan 2015,diamati bahwa ada peningkatan penggunaan kata “ancaman” di kedua media mainstream tersebut.

Meningkatnya penggambaran Tiongkok sebagai ancaman di surat kabar Indonesia ini, menurut peneliti, dilatarbelakangi oleh keputusan Tiongkok untuk menerapkan berbagai kebijakan di Laut China Selatan seperti pengerahan kapal perang dan kapal selam, memberlakukan pembatasan perikanan untuk kapal asing, menerapkan blokade laut, memasukkan sebagian perairan Natuna Indonesia ke dalam peta Tiongkok, dan membangun pulau-pulau buatan pada periode yang sama. Menjadi wajar untuk menyimpulkan bahwa penggambaran negatif Tiongkok harus meningkat.

Ketiga, dari semua inisiatif yang diusulkan Tiongkok di Asia Tenggara, BRI dan AIIB telah menerima perhatian paling besar baik dari pejabat pemerintah maupun media. BRI Tiongkok sering dibandingkan dan dibahas bersama
dengan Inisiatif Poros Maritim Indonesia. Meskipun tingkat keberhasilan Tiongkok dalam pelaksanaan proyek tidak sebanding dengan Jepang, AIIB dipandang sebagai sumber pendanaan potensial untuk mendukung proyek infrastruktur di bawah Inisiatif Poros Maritim.

Secara keseluruhan, artikel ini menunjukkan representasi dan komentar yang tak menentu dari Indonesia terkait Tiongkok. Literatur saat ini tentang hubungan Tiongkok-Indonesia menunjukkan ambiguitas Indonesia dalam berurusan dengan Tiongkok.