Lama Baca 4 Menit

China Meluncurkan Skema Perdagangan Karbon Untuk Memenuhi Tujuan Iklim

10 February 2021, 13:52 WIB



China
Meluncurkan Skema Perdagangan Karbon Untuk Memenuhi Tujuan Iklim-Image-1

Asap Emisi Pabrik - Image from Internet. Segala keluhan mengenai hak cipta dapat menghubungi kami

Beijing, Bolong.id - China akhirnya secara resmi meluncurkan Emission Trading Scheme (ETS) atau Skema Perdagangan Emisi pada Senin (1/1/2021). Skema yang telah ditunggu-tunggu masyarakat global ini merupakan bagian dari upaya China untuk memenuhi janji netralitas karbon pada tahun 2060.

Skema ini akan mencakup 2.267 pembangkit listrik, yang tahun lalu menyumbang hampir 40% emisi karbon dioksida tahunan negara itu. Di tahap selanjutnya, perusahaan di sektor tertentu yang mengeluarkan emisi karbon setara minimal 24.000 ton akan diizinkan memasuki pasar perdagangan karbon.

"Untuk pertama kalinya, tanggung jawab pengendalian emisi gas rumah kaca di tingkat nasional dikonsolidasikan ke perusahaan," Kementerian Ekologi dan Lingkungan menyatakan.

Li Gao, kepala departemen perubahan iklim di kementerian tersebut merujuk pada inisiatif tersebut sebagai titik awal yang penting untuk memenuhi tujuan emisi karbon dioksida dan visi netralitas karbon. China telah mengumumkan akan mencapai puncak emisinya pada tahun 2030 dan mencapai sasaran netralitas karbon pada tahun 2060. Pada bulan Desember, kementerian juga telah merilis rencana untuk menetapkan dan mendistribusikan kuota perdagangan emisi karbon untuk 2019-20 untuk unit di sektor kelistrikan.

Sementara itu, Huw Slater, kepala spesialis iklim di ICF menilai, "bersamaan dengan target iklim yang diumumkan oleh Presiden Xi Jinping pada bulan September, implementasi resmi dari peraturan ETS nasional menunjukkan bahwa 2021 akan menjadi tahun di mana pasar karbon China akhirnya tumbuh dewasa."

China telah dengan hati-hati menguji ETS di tujuh wilayah percontohan: Beijing, Tianjin, Shanghai, Chongqing, Shenzhen, Guangdong, dan Hubei, yang mencakup sektor pencemar utama seperti listrik, semen, baja, dan petrokimia di wilayah ini sejak 2013. Namun pemerintah sangat berhati-hati untuk meluncurkan skema ini.

Terkait ini, Slater pun menambahkan, "bagian tersulit dari penetapan harga karbon adalah memulainya. Di tahun-tahun yang akan datang, akan dapat dilihat lebih banyak sektor tercakup, penyediaan data yang lebih transparan dan koordinasi lintas-pemerintah yang lebih efektif."

Saat ini, emisi karbon dilacak dan diperdagangkan seperti komoditas lainnya, yang dikenal sebagai "pasar karbon". Ide perdagangan karbon ini pertama kali dikonseptualisasikan pada Protokol Kyoto pada tahun 1997 dengan tujuan mempromosikan pengurangan emisi dengan cara membayar sesuai skema penurunan karbon. Skema tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. 

Dalam skema ini, jumlah keseluruhan emisi dari sumber karbon seperti listrik, baja, dan industri pembuatan semen yang menghabiskan banyak batu bara dibatasi. Kemudian, untuk menggunakan emisi yang telah disepakati sesuai batasnya, pemerintah mengeluarkan izin emisi yang umumnya dilelang. Jika perusahaan melanggar batas emisi karbonnya, maka perusahaan tersebut harus membeli lebih banyak izin. Jika perusahaan mengeluarkan kurang dari batas yang ditetapkan, maka perusahaan dapat menjual izin berlebih untuk mendapatkan uang tunai. Skema ini juga disebut sebagai cap-and-trade.

"Penetapan harga karbon akan meningkatkan biaya produksi produk yang diproduksi dengan menggunakan bahan bakar fosil, mulai dari pembangkit listrik hingga produksi baja, memberikan keunggulan kompetitif yang besar bagi industri yang menggunakan energi terbarukan," kata Hao Tan, profesor di University of Newcastle.

Namun dia juga mengingatkan bahwa ETS bukanlah peluru ajaib yang bisa membantu negara mencapai target emisinya.

"Penerapan skema sangat penting untuk memberikan akses pada manfaatnya," sambung Tan. (*)

Matsnaa Chumairo/Penerjemah 

Esy Gracia/Penulis