Ilustrasi kebocoran data - Image from Dari berbagai sumber. Segala keluhan terkait hak cipta silahkan hubungi kami
Jakarta, Bolong.id - Survei perusahaan keamanan siber Trend Micro yang bekerja sama dengan Ponemon Institute, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa 81% perusahaan di Indonesia kemungkinan mengalami kebocoran data pelanggan dalam 12 bulan ke depan.
Country Manager Trend Micro, Laksana Budiwiyono, menerangkan, temuan itu merupakan hasil dari laporan Cyber Risk Index (CRI) yang dilakukan dua kali setahun. CRI ini mengukur gap antara kesiapan keamanan siber para responden dan kemungkinan akan mengalami serangan.
“Pada semester pertama 2021, CRI melakukan survei ke lebih dari 3.600 bisnis dari berbagai ukuran dan industri di 24 negara, termasuk Indonesia,” ujar Laksana.
CRI diukur berdasarkan skala -10 hingga 10 di mana nilai -10 mewakili tingkat risiko tertinggi. Sayangnya, CRI Indonesia saat ini masih berada di level -0.12, yang termasuk dalam kategori Elevated Risk. Dibandingkan tahun 2020, nilainya mengalami penurunan, yang artinya saat ini Indonesia mengalami peningkatan risiko.
Berdasarkan temuan di Indonesia, Laksana menambahkan, pihaknya melihat adanya peningkatan kekhawatiran akan risiko kebocoran data. Hal ini perlu mendapat respons cepat karena serangan siber menimbulkan dampak serius bagi perusahaan dan masyarakat.
“Lebih dari setengah responden menyatakan mengalami kebocoran data pelanggan dalam 12 bulan terakhir,” tutur dia.
Menurut Laksana, perusahaan harus mempersiapkan diri lebih baik lagi dengan mengidentifikasi data penting yang memiliki risiko tinggi. Termasuk juga fokus pada ancaman yang berdampak besar terhadap bisnis, dan menggunakan perlindungan berlapis dengan platform yang komprehensif dan terintegrasi.
Hasil survei itu juga menunjukkan tiga konsekuensi negatif akibat serangan siber yang paling menjadi perhatian di Indonesia, yaitu kehilangan kekayaan intelektual (termasuk rahasia dagang), dan gangguan atau kerusakan pada infrastruktur penting.
“Juga biaya jasa yang harus dikeluarkan untuk konsultan atau ahli dari luar perusahaan,” tambah laksana.
Lebih lanjut dikatakan dalam laporan itu, 65 persen perusahaan mengatakan kemungkinan akan mengalami serangan siber serius dalam 12 bulan ke depan, dan 28 persen telah mengalami lebih dari 7 serangan siber pada jaringan/sistem.
Lainnya, 20 persen telah mengalami lebih dari 7 pelanggaran terhadap aset informasi, serta 29 persen responden mengatakan telah mengalami lebih dari 7 pelanggaran data pelanggan selama setahun terakhir.(*)
Informasi Seputar Tiongkok
Advertisement