Lama Baca 4 Menit

Sanksi AS terhadap Perusahaan Xinjiang Merupakan Bullying?

18 October 2020, 07:00 WIB

Sanksi AS terhadap Perusahaan Xinjiang Merupakan Bullying?-Image-1

Sanksi AS terhadap Perusahaan Xinjiang Merupakan Bullying? - gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami

Beijing, Bolong.id - “Amerika Serikat (AS) telah menginjak-injak hukum internasional, kepentingan bisnis, dan hak-hak buruh Tiongkok dengan secara sewenang-wenang memberikan sanksi kepada beberapa perusahaan di wilayah otonom Xinjiang Uighur Tiongkok dengan alasan ‘kerja paksa besar-besaran’,” ungkap seorang pejabat senior Xinjiang pada hari Jumat (16/10/2020).

Askhar Tursun, wakil kepala departemen perdagangan di kawasan itu, mengatakan mereka marah atas langkah seperti itu dan sangat menentang. Mereka menganggap bahwa langkah tersebut merupakan manifestasi mengerikan dari "yurisdiksi lengan panjang" AS di wilayah Tiongkok.

Tanggapan itu datang setelah Departemen Perdagangan AS pada tahun 2020 ini menjatuhkan sanksi terhadap beberapa bisnis Xinjiang dengan alasan kekhawatiran adanya "kerja paksa". Bisnis yang terpengaruh termasuk Aksu Huafu Color Spinning Co, Changji Esquel Textile Co, dan Hotan Taida Apparel Co, dilansir dari ecns.cn, Sabtu (17/10/2020).

Askhar mengatakan, semua perusahaan yang terkena dampak adalah entitas yang terdaftar secara hukum dan taat terhadap hukum yang juga telah memenuhi tanggung jawab sosial mereka dan kewajiban untuk menjamin hak-hak pekerja. “Sanksi AS adalah pelanggaran norma perdagangan internasional dan telah menyebabkan gangguan pada industri global dan rantai pasokan,” katanya.

"Ini tindakan bullying yang terang-terangan. Kami mendukung perusahaan untuk mempertahankan hak-hak sah mereka melalui hukum," katanya pada konferensi pers di Urumqi, ibu kota Xinjiang.

Juru bicara pemerintah daerah, Zulyat Smay, mengatakan bahwa pencarian pekerjaan bagi orang-orang dari semua kelompok etnis di Xinjiang benar-benar gratis, dan didasarkan pada prinsip seleksi dua arah yang memungkinkan pekerja untuk memutuskan tempat bekerja mereka sendiri.

Ia menjelaskan, peran pemerintah adalah menciptakan kondisi bagi pekerja lokal untuk mendapatkan pekerjaan yang memuaskan, memperoleh penghasilan yang stabil, dan menikmati hak untuk bekerja.

Rahman Dawut, kepala departemen sumber daya manusia dan jaminan sosial di kawasan itu, mengatakan bahwa mereka menghormati keinginan pribadi pekerja dan preferensi pekerjaan saat mereka mencari pekerjaan di luar kampung halaman, dan membantu mereka mencapai potensi penuh mereka, serta mencapai pekerjaan yang stabil.

Rahman menambahkan, mereka telah menggelar pelatihan kerja bagi kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan kerja, seperti mereka yang di-PHK dan penyandang disabilitas. Keringanan pajak, pinjaman yang dipermudah, dan insentif lainnya juga telah digunakan untuk mendorong pemberi kerja menciptakan lapangan kerja baru. Dia juga membantah klaim bahwa pekerja dari kelompok etnis minoritas telah dipantau di tempat kerja dan bahwa adat istiadat serta keyakinan agama mereka ditindas.

Pemerintah daerah menunjukkan jumlah total orang yang bekerja di Xinjiang naik dari 11,35 juta menjadi 13,3 juta pada 2014 hingga 2019, meningkat sebanyak 17,2 persen. Sementara, peningkatan tahunan rata-rata pekerjaan perkotaan lebih dari 471.200 orang.

Zulyat mengatakan beberapa orang di AS dan negara-negara Barat sepenuhnya mengabaikan upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah di kawasan itu untuk melindungi hak asasi manusia dan mengamankan pekerjaan. "Tindakan yang diambil oleh AS dan Barat adalah campur tangan terang-terangan dalam urusan dalam negeri Tiongkok, penghancuran brutal upaya Xinjiang dalam mempromosikan pembangunan ekososial dan hak asasi manusia, serta pelanggaran sewenang-wenang terhadap hak-hak dasar tenaga kerja rakyat dari semua kelompok etnis di Xinjiang di bawah panji hak asasi manusia," pungkasnya. (*)