
Pengunjung mendatangi stan peserta pameran dari China, Tencent Video, dalam ajang Asia TV Forum and Market (ATF) ke-26 yang diselenggarakan di Singapura pada 3 Desember 2025. (Xinhua/Then Chih Wey)
SINGAPURA, 5 Desember (Xinhua) -- Bagi Zhou Yu, pertanyaannya bermula dari sebuah ketidakpastian yang tak terungkapkan: Mungkinkah drama berlatar industri asuransi di China dapat menarik perhatian penonton di luar negeri?
Tahun ini, drama berlatar kehidupan kantor di kota metropolitan berjudul "A Better Life" meraih kesuksesan besar di China. Zhou, manajer umum SMG Pictures, yang merupakan salah satu produser serial drama itu, mengirim episode terjemahan drama tersebut kepada beberapa mitra di benua Eropa dan Amerika. Langkah itu lebih didorong oleh rasa ingin tahu ketimbang keyakinan.
Responsnya datang lebih cepat dari perkiraan Zhou. Distributor asal Inggris merespons setelah menonton lima episode, dan mereka "sangat menyukainya." Hal yang membuat mereka terpikat bukanlah soal kebijakan atau prosedur korporasi dalam cerita, melainkan dua tokoh utamanya, yang masing-masing berusia 28 dan 39 tahun. Kedua tokoh protagonis itu terjebak dalam krisis pribadi, tetapi perlahan berubah menjadi sepasang mentor dan murid yang pada akhirnya saling membantu untuk berkembang.
Zhou menyadari bahwa dunia dalam cerita itu memiliki karakteristik China yang sangat kuat, tetapi bahasa emosinya bersifat universal.
Dari Rabu (3/12) hingga Jumat (5/12), Zhou membawa serial tersebut ke ajang Asia TV Forum and Market ke-26 di Singapura, salah satu ajang perdagangan konten layar paling berpengaruh di kawasan itu. Para pembeli dari Asia Tenggara datang untuk bertanya kepada Zhou mengenai lisensi, dan ada juga yang bertanya tentang peluang remake lokal.
Tahun ini, kehadiran China di forum tersebut terlihat lebih menonjol. Di bawah arahan Kantor Informasi Dewan Negara China dan Administrasi Radio dan Televisi Nasional (National Radio and Television Administration/NRTA) China, Paviliun China diperluas menjadi 270 meter persegi, memfasilitasi 24 perusahaan dan deretan proyek bergerak menuju kesepakatan konkret.
Salah satu contohnya adalah "Swords into Plowshares", drama sejarah produksi Huace Group. Operator televisi kabel Thailand, True Visions, mengumumkan akan menayangkan serial itu bersamaan dengan penayangan di China. Tim produksi menjelaskan bahwa penonton Thailand kini berharap bisa menyaksikan drama China terbaru "hampir langsung setelah dirilis di China atau bahkan secara berbarengan."
Turkiye juga mengikuti tren ini. Selcuk Yavuzkanat, wakil direktur jenderal bidang sinema di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Turkiye, mengatakan kualitas produksi China meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, dan penonton Turkiye menunjukkan kecintaan khusus terhadap epos sejarah.
"Lembaga penyiaran publik kami, TRT, pernah menayangkan serial China dan masyarakat menyukainya," ungkapnya. "Saya berharap kami dapat membeli lebih banyak di tahun-tahun mendatang."
Bagi veteran industri Zhao Yifang, CEO Huace Group, perkembangan ini tidak mengejutkan. Zhao telah mengejar pasar internasional sejak 1990-an, dan dia yakin bahwa salah satu perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir adalah pergeseran menuju pola pikir global dalam penciptaan konten. "Sejak awal," ujarnya, "kami mempertimbangkan penonton internasional."
Dalam kasus "Swords into Plowshares", itu berarti menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) pada tahap penulisan naskah untuk menganalisis preferensi emosional pasar luar negeri, lalu menyesuaikan trailer internasional untuk kawasan seperti Eropa dan Asia Tenggara, dengan cerita yang sama namun penekanannya berbeda.
Praktik di lapangan membuktikan bahwa pendekatan ini efektif. Pada Agustus, "The Thirsty Thirty", remake Thailand dari drama urban populer produksi Linmon Media berjudul "Nothing But Thirty", dirilis serentak di Tencent Video dan Disney+. Manajer umum Linmon International, Lu Yu, mengatakan ketika serial Thailand itu mulai meraih momentum global, Linmon memutuskan untuk berinvestasi langsung dan mengawasi adaptasi Thailand tersebut, bekerja sama dengan penulis dan aktor lokal untuk membentuk remake lintas negara itu.
"Kami mempertahankan kerangka asli dan desain karakternya, termasuk adegan ikonik yang diingat penonton," kata Lu. "Namun kami juga mencari elemen yang paling cocok bagi pasar lokal." Tetap saja, tambahnya, tujuannya bukanlah lokalisasi penuh. Mereka ingin mempertahankan "cita rasa Thailand" yang kini semakin diapresiasi penonton internasional.
Di seluruh industri, kolaborasi semacam itu menjadi sebuah pola. Data yang dipresentasikan di forum oleh Liu Anqi, analis senior di Glance, firma riset media yang berbasis di Prancis, menunjukkan bahwa dari 2020 hingga 2025, China menempati peringkat pertama di Asia dalam hal niat berkolaborasi dan jumlah proyek produksi bersama.
Operator seluler terbesar di Indonesia, Telkomsel, memiliki pengalaman luas dalam produksi bersama dengan mitra China. Lesley Simpson, wakil presiden bidang gaya hidup digital di Telkomsel, mengatakan Telkomsel menyediakan keahlian lokal dan basis pengguna yang kuat bagi kolaborator China, sementara pelaku industri Indonesia membutuhkan variasi konten yang luas.
"Konten lokal dan konten China memiliki gaya yang sangat berbeda, tetapi penonton Indonesia menikmati keduanya," kata Simpson. "Indonesia memiliki banyak pulau dan populasi yang besar, dan preferensi penonton bisa berbeda dari satu pulau ke pulau lainnya. Karena itu, penting untuk menawarkan beragam konten."
Bagi Zhao, yang telah puluhan tahun memimpin penjangkauan internasional Huace Group, transformasi ini menegaskan apa yang telah lama dia amati. "Sebelumnya, satu episode drama China mungkin hanya terjual dengan harga beberapa ribu dolar AS," ujarnya. "Sekarang, judul-judul solid bisa terjual lebih dari 100.000 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.659) per episode."
Namun, tambahnya, nilai ekonomi hanyalah bagian dari cerita. Makna yang lebih dalam terletak pada budaya. "Penyampaian cerita yang baik pada akhirnya bergantung pada pemahaman inti spiritual masyarakat China dan penanamannya dalam narasi." Serial "Swords into Plowshares" berpusat pada kerinduan akan stabilitas nasional dan kedamaian hidup sehari-hari, sebuah hasrat yang melintasi zaman dan batas negara.
"Seribu tahun lalu atau hari ini, orang-orang mendambakan dunia tanpa perang," kata Zhao. "Ini adalah kisah China, tetapi juga merupakan kisah manusia." Selesai
Advertisement
