JAKARTA, 2 Juni (Xinhua) -- Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok untuk Republik Indonesia, Lu Kang baru-baru ini diundang untuk berpidato di Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, dan bertukar pandangan dengan para hadirin tentang kebijakan luar negeri Tiongkok.
Berikutnya adalah teks lengkap dari pidato tersebut:
Yang terhormat Wakil Gubernur Mohamad Sabrar Fadhilah,
Para hadirin,
Selamat pagi semuanya!
Merupakan sebuah kehormatan besar dan kegembiraan bagi saya dapat berbicara di Lemhannas, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. Terima kasih Gubernur Andi atas undangan hangat Anda.
Selama 58 tahun terakhir, Lemhannas telah memberikan kontribusi penting dalam perancangan strategi dan peningkatan kapasitas Pemerintah Indonesia. Mengingat kekuatan nasional yang semakin berkembang dan pengaruh yang semakin meluas di kawasan dan dunia pada umumnya, terutama dalam beberapa tahun terakhir sebagai hasil dari kepemimpinan Presiden Joko Widodo, saya percaya bahwa di bawah kepemimpinan Gubernur Andi, Lemhannas akan berperan lebih besar dalam meningkatkan kedudukan Indonesia di dunia. Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia siap untuk memperluas pertukaran dengan Lemhannas demi mencapai pemahaman timbal balik dan persahabatan yang lebih mendalam antara kedua bangsa kita.
Para hadirin,
Tiga hari yang lalu, dunia menyaksikan penyelenggaraan tiga konferensi tingkat tinggi (KTT) secara serentak: yang pertama di Xi'an, Tiongkok, yang berfokus pada kerja sama dan jaringan pembangunan Sabuk dan Jalur Sutra; yang kedua di Jeddah, Arab Saudi, yang menyambut kembalinya Suriah ke Liga Negara Arab dan menyerukan persatuan di antara negara-negara di kawasan itu; dan yang ketiga di Hiroshima, Jepang, meskipun dengan suara utama yang sangat berbeda, masih berasumsi bahwa negara-negara anggota Kelompok Tujuh (Group of Seven/G7) berada dalam posisi untuk mendikte dunia. Pada hari yang sama, 19 Mei, seorang rekan sesama duta besar di Jakarta mengatakan kepada saya bahwa "kita telah memasuki era Perang Dingin yang baru". Sependapat ataupun tidak, saat ini sedang terjadi perkembangan yang mengganggu di dunia, termasuk tantangan terhadap perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran yang dihargai oleh masyarakat di kawasan Asia-Pasifik kita. Izinkan saya menyebutkan beberapa contoh:
Konfrontasi blok meningkat. Kita telah melihat kecenderungan negara-negara tertentu untuk menyoroti perbedaan ideologis dan membentuk kelompok eksklusif, sebagai upaya untuk meluncurkan "Perang Dingin" baru. Krisis-krisis yang patut disayangkan seperti kasus Ukraina telah dimanipulasi untuk memecah belah dunia, tanpa mempertimbangkan penderitaan berkepanjangan warga sipil tak berdosa serta efek limpahan di sektor pangan, energi, dan keamanan keuangan, yang menjadi beban besar bagi negara-negara berkembang.
Globalisasi dipertaruhkan. Kita telah melihat kecenderungan negara tertentu untuk mengejar aksi sepihak melawan globalisasi. Kebijakan serta hubungan ekonomi dipolitisasi dan dipersenjatai. Mereka menghambat rantai industri dan pasokan berbasis pasar. Lebih buruk lagi, mereka memanipulasi instrumen makro untuk semakin merampas kekayaan negara-negara berkembang, menambah kemiskinan dan ketidaksetaraan global.
Tatanan internasional diserang. Kita telah melihat kecenderungan praktik standar ganda oleh negara tertentu, dengan penarikan diri secara sengaja dari instrumen-instrumen multilateral dan penerapan aturan internasional secara selektif. Ini melanggar norma dasar yang mengatur perdagangan bebas, mencampuri urusan internal negara lain, semakin menggunakan sanksi sepihak yang tidak dapat dibenarkan serta yurisdiksi "lengan panjang" (long-arm), persis seperti label "koersi ekonomi" yang mereka sematkan kepada negara lain dewasa ini.
Ironisnya, negara-negara seperti itulah yang menciptakan istilah "tatanan internasional berbasis aturan". Namun, bahkan hingga saat ini, mereka tidak mengatakan kepada dunia "aturan" dalam retorika mereka ditentukan oleh siapa. Apakah "aturan" dalam retorika mereka sama dengan norma dasar yang mengatur hubungan internasional, seperti Piagam PBB? Kita harus bersikap adil. Peraturan internasional seharusnya diakui dan diterima secara universal, termasuk oleh sejumlah besar negara berkembang, alih-alih apa pun yang didefinisikan, ditafsirkan, dan dipilih yang paling menguntungkan oleh segelintir negara.
Kerja sama regional berada dalam bahaya. Asia-Pasifik, dengan perdamaian dan perkembangannya selama bertahun-tahun, telah lama menjadi kekuatan pendorong yang signifikan bagi pertumbuhan global. Namun, kita telah melihat kecenderungan negara tertentu untuk mendestabilisasi dan memecah belah kawasan kita dengan memprovokasi konfrontasi keamanan dan menerapkan pemisahan (decoupling) ekonomi. AUKUS membuat posisi rezim nonproliferasi internasional berada dalam bahaya. IPEF diluncurkan bukan untuk memperkuat integrasi ekonomi regional, tetapi eksklusi selektif dari upaya geopolitik.
Para hadirin,
Dengan lanskap global dan regional seperti ini, wajar jika banyak dari Anda mengamati pilihan kebijakan Tiongkok, mengingat peran Tiongkok di dalamnya maupun hubungannya yang erat dengan negara-negara di kawasan tersebut.
Adalah fakta bahwa Tiongkok telah menjadi perekonomian terbesar kedua setelah mengalami pertumbuhan pesat selama empat dekade. Namun, ada fakta lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu, berbeda dengan kekuatan lain dalam sejarah dunia modern, pertumbuhan Tiongkok tidak pernah dicapai melalui penjajahan, penjarahan, atau perang. Sebenarnya dalam filosofi tradisional Tiongkok, orang tidak percaya bahwa kekuatan selalu menghasilkan hegemoni. Sebaliknya, Tiongkok telah, dan akan terus, melanjutkan pembangunan melalui pendekatan yang damai, terbuka, dan kooperatif. Komitmen kami terhadap pembangunan damai telah dinyatakan dalam Konstitusi Tiongkok, mungkin satu-satunya kasus di seluruh dunia. Dan modernisasi Tiongkok, sebagaimana diuraikan pada Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok (Communist Party of China/CPC) ke-20, bercirikan pembangunan yang damai. Di Kongres ini, Presiden Xi Jinping menegaskan kembali bahwa, "Tiongkok menganut jalur pembangunan damai."
Ini merupakan perspektif fundamental yang mendasari doktrin luar negeri Tiongkok. Sepuluh tahun lalu, Presiden Xi Jinping mengemukakan visi Komunitas dengan Masa Depan Bersama bagi Umat Manusia. Kini, visi tersebut telah dinyatakan dalam Konstitusi CPC pada 2017 dan Konstitusi Tiongkok pada 2018.
-Visi Komunitas dengan Masa Depan Bersama bagi Umat Manusia telah menyediakan solusi Tiongkok untuk dilema pembangunan. Presiden Xi Jinping mengajukan Inisiatif Pembangunan Global, (Global Development Initiative/GDI), yang bertujuan untuk mempercepat implementasi Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030, demi pembangunan global yang lebih kuat, lebih hijau, dan lebih sehat.
Kelompok Sahabat GDI (Group of Friends of GDI), dengan Indonesia di dalamnya, sedang menggarap jaringan kerja sama di bidang pertanian, pendidikan kejuruan, dan respons perubahan iklim. Dana Pembangunan Global dan Kerja Sama Selatan-Selatan yang disponsori oleh Tiongkok akan memberikan dukungan keuangan. Tiongkok siap bekerja sama dengan semua mitra dalam hal pengurangan dan pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan industrialisasi, dalam Aksi Khusus untuk Mempromosikan Produksi Pangan dan Kemitraan Energi Bersih Global, dalam bea cukai cerdas, pendidikan digital, pemberantasan polusi plastik, dan berbagi data satelit. Dengan demikian, kami berharap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal/SDG) akan membuahkan lebih banyak hasil.
-Visi tersebut memberikan proposal Tiongkok untuk mengatasi defisit keamanan. Inisiatif Keamanan Global (Global Security Initiative/GSI) yang diusulkan oleh Presiden Xi Jinping, menjunjung tinggi visi keamanan bersama, komprehensif, kooperatif, dan berkelanjutan. Visi ini mengupayakan tujuan jangka panjang sebuah komunitas keamanan, dan mengadvokasi jalur baru menuju keamanan yang mengutamakan dialog alih-alih konfrontasi, kemitraan alih-alih aliansi, dan keuntungan bersama (win-win) alih-alih mentalitas menang-kalah (zero-sum).
Maret lalu, Tiongkok memfasilitasi detente (deeskalasi ketegangan) antara Arab Saudi dan Iran, yang merupakan contoh yang baik bagi sahabat-sahabat kita di Timur Tengah untuk mengatasi perbedaan melalui dialog dan konsultasi demi kepentingan bersama. April lalu, Menteri Luar Negeri Suriah melakukan kunjungan pertama ke Arab Saudi sejak 2011, dan pekan lalu Presiden Bashar al-Assad kembali ke KTT Arab. Pada akhir pekan lalu, Bahrain dan Lebanon mengumumkan pemulihan hubungan diplomatik. Qatar dan Bahrain sepakat untuk memulihkan hubungan diplomatik mereka. Kemajuan telah tercapai dalam proses perdamaian Yaman. Kami gembira melihat gelombang rekonsiliasi ini di Timur Tengah, dan akan terus mengerahkan upaya kami.
Tiongkok sedang mengupayakan penyelesaian politik krisis Ukraina dan telah merilis Posisi Tiongkok dalam Penyelesaian Politik Krisis Ukraina. Presiden Xi Jinping telah melakukan komunikasi yang mendalam dengan para pemimpin Rusia dan Ukraina. Saat ini, Duta Besar Li Hui, Perwakilan Khusus Pemerintah Tiongkok untuk Urusan Eurasia, sedang melakukan kunjungan ke Eropa guna berbicara dengan semua pihak terkait mengenai penyelesaian politik krisis tersebut.
-Visi tersebut menawarkan kebijaksanaan Tiongkok dalam mencegah benturan peradaban. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Dialog CPC dengan Partai Politik Dunia pada Maret lalu, Presiden Xi Jinping mengemukakan Inisiatif Peradaban Global (Global Civilization Initiative/GCI). GCI menganjurkan agar menghormati keragaman peradaban dan nilai-nilai bersama kemanusiaan. GCI juga menekankan pentingnya pertukaran antarmasyarakat internasional. Ini merupakan sanggahan kuat terhadap argumen yang mengasumsikan superioritas peradaban tertentu atas yang lain dan benturan peradaban. GCI menawarkan solusi Tiongkok untuk pertukaran, pembelajaran bersama, dan kemajuan bersama di antara peradaban global.
Para hadirin,
Dalam hal kebijakan luar negeri Tiongkok, hubungan Tiongkok-Amerika Serikat (AS) adalah topik yang tak terhindarkan. Sayangnya, status quo hubungan bilateral yang penting ini tidak selaras dengan kepentingan kedua belah pihak, maupun juga harapan masyarakat internasional. Menurut pandangan kami, hubungan Tiongkok-AS seharusnya tidak menjadi permainan menang-kalah (zero-sum) atau pertarungan hidup dan mati. Perang ideologis, perang keamanan, perang dagang, dan perang teknologi yang dimulai oleh AS bertentangan dengan norma-norma internasional, dan tidak melayani kepentingan siapa pun. Tiongkok akan dengan tegas menegakkan hak-haknya yang sah seperti yang selalu dilakukannya. Kami percaya bahwa, hubungan Tiongkok-AS hanya dapat dan harus didasarkan pada prinsip saling menghormati, hidup berdampingan dengan damai, dan kerja sama yang saling menguntungkan.
Advertisement