Lama Baca 7 Menit

TERUNGKAP, Guru Prancis Digorok Teroris Akibat Berita Bohong

09 March 2021, 14:01 WIB

TERUNGKAP, Guru Prancis Digorok Teroris Akibat Berita Bohong-Image-1

Mayat Prof Samuel Paty, setelah digorok 16 Okt 2020 - Image from DailyMail


Paris, Bolong.id - Dampak buruk orang bohong, sungguh dahsyat. Diungkap media-media Barat, Selasa (9/3/21) pemenggalan kepala profesor sejarah Samuel Paty (47) di Paris, Prancis, 16 Oktober 2020, gegara kebohongan siswi inisial Z, usia 13. Kasus itu menghebohkan Prancis, bahkan Eropa, sebagai kasus terorisme.

Dikutip dari The Guardian, Selasa (9/3/21) kebohongan Z, secara tidak langsung memicu pemenggalan kepala Samuel Paty, yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya, 6 Oktober 2020.

Ini terungkap di pengadilan. Setelah majelis hakim memeriksa beberapa saksi dan bukti. Terungkap, bahwa Z berbohong. Setelah terungkap, Z mengakui bahwa ia berbohong kepada ayahnya, Brahim Chnina (48) keturunan Maroko. Kebohongan ini menyebar, sehingga terjadilah pemenggalan kepala Prof Paty.

Parahnya, laporan bohong Z kepada ayahnya, karena Z selama beberapa hari sebelumnya terkena skorsing, akibat sering membolos. Untuk menutupi kondisi dia diskorsing, Z cerita ke ayahnya, bahwa gurunya, Samuel Paty mempertontonkan foto Nabi telanjang, dan memerintahkan siswa-siswi agama Islam keluar dari kelas.

Laporan Z kepada ayahnya, Brahim Chnina, itu kemudian direaksi emosional. Brahim Chnina menyebarkan cerita Z tersebut ke medsos. Akibatnya sangat fatal.

The Guardian memaparkan, Z mengarang cerita -- setelah mendengar cerita teman-temannya -- dengan menyatakan guru sejarahnya, Samuel Paty, saat pelajaran berlangsung, menginstruksikan siswa-siswi Muslim meninggalkan ruang kelas, agar dia bisa menunjukkan 'foto Nabi telanjang' kepada siswa lainnya.

Kebohongan sang siswi itu berdampak pada serangkaian peristiwa yang memicu kengerian tak terbayangkan.

Sepuluh hari kemudian, 16 Oktober 2020, Paty tewas dipenggal oleh seorang teroris bernama Abdullakh Anzorov, yang akhirnya tewas di tangan polisi. Insiden itu menghancurkan keluarga Paty dan membuat publik Prancis trauma.

Laporan media terkemuka Prancis, Le Parisien, Minggu (7/3/21) waktu setempat mengungkapkan secara detail seperti apa kebohongan Z.

Menurut Le Parisien, di hadapan hakim anti-teroris yang menyelidiki kasus ini, siswi berinisial Z itu mengaku telah menuduh Paty secara keliru dan mengakui dirinya telah berbohong.

Dituturkan siswi ini bahwa dirinya sama sekali tidak ada di dalam kelas saat Paty menunjukkan karikatur kontroversial Nabi Muhammad dari surat kabar satire Prancis, Charlie Hebdo, kepada siswanya. Saat itu, siswi ini sedang diskorsing karena beberapa kali membolos.

Laporan Le Parisien menyebut siswi itu berbohong karena ingin menyenangkan ayahnya.

"Dia tidak berani mengakui kepada ayahnya soal alasan sebenarnya dia dikeluarkan (dari kelas) sesaat sebelum tragedi, yang pada faktanya terkait dengan perilakunya yang buruk," demikian sebut Le Parisien dalam laporannya.

Jadi, pada 6 Oktober 2020, Paty yang seorang guru sejarah dan geografi ini membahas soal tema 'dilema' dalam salah satu kelasnya. 

Dia melontarkan pertanyaan yang berbunyi "Menjadi atau tidak menjadi Charlie?" yang merujuk pada tagar #JeSuisCharlie yang banyak digunakan untuk mendukung surat kabar satire Charlie Hebdo usai kantornya diserang teroris pada Januari 2015 yang menewaskan 12 orang.

Paty disebut telah meminta siswa-siswa Muslim di dalam kelasnya yang dianggap akan terkejut untuk menutup mata mereka atau berdiri sebentar di koridor saat dia menunjukkan karikatur itu kepada siswa lainnya.

Dua hari kemudian, sang siswi berinisial Z itu memberitahu ayahnya bahwa Paty meminta siswa Muslim untuk meninggalkan ruang kelas sebelum dia menunjukkan karikatur Nabi Muhammad. Siswi itu menyebut dirinya telah menyatakan tidak setuju dengan Paty dan Paty malah menskorsing dirinya selama dua hari.

Mendengar penjelasan putrinya, ayah siswi itu, Brahim Chnina (48) yang kelahiran Maroko, merekam sebuah video dan membagikannya di Facebook di mana dia mengecam Paty dan menyerukan agar sang guru dipecat dari tempatnya mengajar di sekolah menengah Conflans-Sainte-Honorine. Satu video lainnya yang diposting ke media sosial oleh Chnina berisi kemarahan Chnina yang menuduh Paty melakukan 'diskriminasi'.

Tidak hanya itu, Chnina juga mengadu ke sekolah dan melapor ke polisi, dengan menuduh Paty bersalah karena 'menyebarkan gambar porno', dan memicu tuduhan Islamofobia di sekolah. Isu ini beserta dua video Chnina itu menyebar luas, khususnya di media sosial, hingga mencapai Anzorov (18), seorang imigran Chechnya yang teradikalisasi.

Pada 16 Oktober 2020, Anzorov mendatangi Conflans-Sainte-Honorine, membayar dua remaja dari sekolah itu untuk mengidentifikasi Paty, saat dia hendak pulang ke rumahnya. Kemudian, Anzorov memenggal Paty pada malam hari di jalanan dekat sekolah.

Kebohongan sang siswi 13 tahun ini telah memicu tewasnya Paty, yang merupakan ayah dari seorang bocah berusia 5 tahun.

Siswi ini dilaporkan tetap berpegang pada ceritanya sampai polisi memberitahu dirinya bahwa teman sekelasnya mengonfirmasi bahwa dia tidak hadir dalam kelas Paty dan bahwa Paty tidak meminta siswa Muslim untuk meninggalkan kelas seperti yang dia klaim sebelumnya. Para penyidik dilaporkan menyebut siswi itu menderita 'inferiority complex' dan sangat menghormati ayahnya.

"Jika saya tidak mengatakan itu kepada ayah saya, semua ini tidak akan terjadi dan tidak akan menyebar dengan begitu cepat," ucap siswi itu kepada hakim anti-teroris setempat, seperti dilansir media Prancis lainnya, RFI.

Dalam argumennya, pengacara siswi itu, Mbeko Tabula, bersikeras bahwa beban berat tragedi ini tidak boleh hanya diarahkan pada kliennya yang berusia 13 tahun.

"Perilaku ayahnya yang berlebihan, membuat dan memposting video yang memberatkan sang profesor yang menyebabkan peristiwa spiral ini," cetusnya. "Klien saya berbohong, tapi meskipun itu benar, reaksi ayahnya masih tidak proporsional," imbuhnya.

Terkait kasus ini, sang siswi didakwa melontarkan fitnah dan ayahnya didakwa terlibat dalam pembunuhan teroris. Kepada polisi setempat, Chnina dilaporkan menyebut dirinya 'idiot, bodoh'.

"Saya tidak pernah mengira pesan saya akan dilihat oleh teroris. Saya tidak ingin menyakiti siapapun dengan pesan itu. Sulit membayangkan bagaimana kita sampai di sini, bahwa kita kehilangan seorang profesor sejarah dan semua orang menyalahkan saya," ucapnya. (*)