Lama Baca 5 Menit

Infrastruktur China, Untung atau Buntung Bagi Indonesia?

19 June 2025, 10:20 WIB

Infrastruktur China, Untung atau Buntung Bagi Indonesia?-Image-1
Xi Jinping sambut Prabowo dalam kunjungan resmi di Beijing. (Foto: Reuters)

 

Jakarta, Bolong.id - Kolaborasi antara Indonesia dan Tiongkok dalam bidang infrastruktur kian menguat seiring dengan inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) yang diluncurkan oleh Beijing. Di tengah masuknya investasi besar dan pembangunan skala besar seperti kereta cepat dan kawasan industri, muncul pertanyaan penting: apakah Indonesia hanya menjadi ladang proyek, atau bisa memanfaatkan momentum ini untuk pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan?

Tiongkok kini merupakan mitra dagang terbesar Indonesia sekaligus salah satu investor asing terdepan dalam berbagai proyek strategis. Proyek seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung, kawasan industri nikel di Morowali, hingga proyek energi di Batang dan Kalimantan menjadi bukti nyata kedalaman kerja sama ini.

Manfaat Ekonomi dan Transfer Teknologi

Berbagai proyek BRI telah mendorong konektivitas, efisiensi logistik, serta industrialisasi di berbagai wilayah Indonesia. Kereta Cepat Jakarta–Bandung—kereta cepat modern pertama di Asia Tenggara—dianggap sebagai simbol kerja sama teknologi tinggi antara kedua negara, meski tak lepas dari kontroversi.

Di sektor industri, kawasan seperti Morowali telah berkembang pesat menjadi pusat pengolahan nikel dan baja yang penting dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV) dunia. Keberadaan perusahaan Tiongkok seperti Tsingshan di wilayah ini menunjukkan potensi investasi jangka panjang yang mendorong hilirisasi sumber daya alam Indonesia.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), kerja sama ini juga membuka peluang besar dalam transisi energi bersih.

“Proyek BRI yang hijau dapat membantu menurunkan emisi, menggantikan pembangkit energi fosil, dan mengembangkan rantai pasok energi bersih di Indonesia,” ujar Fabby. “Kerja sama ini bisa menjadi saling menguntungkan untuk tujuan jangka panjang kedua negara.”

Belajar dari Model Pembangunan Tiongkok

Keberhasilan Tiongkok dalam membangun infrastruktur, mengembangkan industri, dan mengentaskan ratusan juta orang dari kemiskinan dalam waktu singkat sering dianggap sebagai model pembangunan yang layak dikaji lebih dalam oleh Indonesia.

Meskipun sistem politik dan tata kelola berbeda, banyak pihak menilai Indonesia dapat mengadopsi pendekatan tertentu secara kontekstual, seperti: perencanaan jangka panjang lintas rezim, pengembangan zona industri terintegrasi, dan investasi masif di pendidikan vokasi serta penelitian.

Tantangan Sosial dan Risiko Kedaulatan

Meski menjanjikan, kerja sama ini tak lepas dari tantangan yang signifikan.

Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung, misalnya, menuai kritik terkait pembengkakan biayaketerlambatan, dan ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri. Beberapa laporan audit juga menyoroti perbedaan antara rencana awal dan pelaksanaan di lapangan, menimbulkan kekhawatiran tentang efisiensi dan keberlanjutan keuangan jangka panjang.

Di berbagai kawasan industri, keberadaan tenaga kerja asing asal Tiongkok memicu resistensi sosial. Kelompok buruh dan masyarakat lokal mengeluhkan terbatasnya akses terhadap posisi teknis dan manajerial, yang sebagian besar dipegang oleh tenaga kerja asing, sementara tenaga kerja lokal banyak berada di level bawah.

Isu mengenai potensi "jebakan utang" juga terus dibicarakan. Meski rasio utang Indonesia terhadap PDB masih dalam batas aman, dominasi pendanaan dari satu negara dapat menimbulkan ketergantungan yang berisiko bagi kedaulatan fiskal di masa depan.

Dari Penerima Menjadi Mitra Strategis

Sejumlah pengamat menilai bahwa Indonesia perlu bergerak dari peran sebagai penerima investasi pasif menjadi mitra strategis yang aktif membentuk arah pembangunan.

Langkah yang dapat diambil antara lain:

  • Meningkatkan transparansi dalam proses pemilihan dan pelaksanaan proyek
  • Mewajibkan transfer teknologi dan keahlian dalam perjanjian kerja sama
  • Memastikan adanya pelibatan masyarakat lokal dalam perencanaan proyek
  • Mendorong standar investasi yang ramah lingkungan dan berkeadilan sosial

Menurut Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, kolaborasi antara komunitas lokal dan mitra Tiongkok dapat membuka ruang pembelajaran timbal balik.

“Dialog di tingkat komunitas sangat penting. Ini membuka peluang untuk belajar dari pengalaman Tiongkok dalam transformasi hijau dan berbagi praktik baik yang bisa diterapkan di Indonesia,” ujar Arief.

Penentu Masa Depan Kawasan

Kerja sama Indonesia–Tiongkok di bawah payung BRI bukan hanya ujian bagi hubungan bilateral, melainkan juga refleksi dari bagaimana negara berkembang dapat mengelola pengaruh kekuatan global untuk memperkuat kepentingan nasional.

Tantangan terbesar bukan terletak pada kekuatan Tiongkok, tetapi pada kesiapan Indonesia untuk mengelola dan memanfaatkannya secara strategis demi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan (Bryant).