Lama Baca 6 Menit

Opini : Refleksi 75 Tahun Hubungan Indonesia - Tiongkok: Menimbang Arah Hubungan Strategis di Masa Depan

01 October 2025, 09:05 WIB

Opini : Refleksi 75 Tahun Hubungan Indonesia - Tiongkok: Menimbang Arah Hubungan Strategis di Masa Depan-Image-1
Logo Pemenang 75 Tahun Indonesia - Tiongkok - Dok : FPCI 

Oleh : Safriady*

Tahun 2025 menandai usia 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok. Dua negara besar di Asia ini memiliki sejarah panjang yang penuh dinamika, dari persahabatan ideologis pada era Soekarno, kecurigaan dan pembekuan hubungan pada masa Orde Baru, hingga normalisasi dan penguatan kemitraan strategis di era Reformasi. Perjalanan panjang tersebut bukan sekadar catatan diplomatik, melainkan juga gambaran transformasi kepentingan nasional, perubahan orientasi geopolitik, serta respon terhadap dinamika global.

Di tengah menguatnya rivalitas Amerika Serikat–Tiongkok, posisi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20 menjadikan hubungan dengan Beijing semakin strategis. Kini, refleksi 75 tahun hubungan bilateral bukan hanya berbicara tentang sejarah, tetapi juga soal arah masa depan: apakah Indonesia akan memperkuat kemitraan strategis dengan Tiongkok, menjaga keseimbangan dengan kekuatan global lain, atau bahkan menciptakan format baru hubungan internasional yang lebih otonom dan adaptif?

Jatuh Bangun Hubungan Indonesia - Tiongkok 

Hubungan resmi Indonesia - Tiongkok dibuka pada 13 April 1950, setahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh dunia internasional. Pada era Presiden Soekarno, hubungan kedua negara diwarnai solidaritas ideologis anti-imperialisme. Beijing menjadi mitra penting Jakarta dalam kerangka Bandung Spirit (1955) dan Gerakan Non-Blok. Kerja sama budaya, pendidikan, dan politik berkembang pesat, bahkan Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Namun, hubungan ini memburuk pasca peristiwa G30S 1965. Pemerintahan Orde Baru menuduh adanya keterlibatan Partai Komunis Tiongkok dalam mendukung PKI. Akibatnya, pada tahun 1967 hubungan diplomatik dibekukan selama lebih dari dua dekade. Baru pada 1990, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, hubungan diplomatik dinormalisasi kembali.

Pasca-Reformasi, hubungan Indonesia - Tiongkok semakin intensif, terutama setelah ditetapkannya Kemitraan Strategis (2005) dan Kemitraan Strategis Komprehensif (2013). Momentum ini dipertegas oleh keikutsertaan Indonesia dalam Belt and Road Initiative (BRI), kerja sama infrastruktur, serta penguatan hubungan perdagangan.

Dinamika Ekonomi

Tiongkok kini menjadi mitra dagang terbesar Indonesia. Data Kementerian Perdagangan RI (2024) menunjukkan total perdagangan Indonesia - Tiongkok mencapai lebih dari $127 miliar, dengan Tiongkok menyumbang sekitar 24% dari total ekspor Indonesia. Produk utama yang diekspor ke Tiongkok antara lain batu bara, nikel, minyak kelapa sawit, dan karet, sementara Indonesia mengimpor barang elektronik, mesin, tekstil, serta produk manufaktur bernilai tinggi.

Di satu sisi, kerja sama ekonomi ini mendorong pertumbuhan. Proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta - Bandung (Whoosh), pembangunan smelter nikel, serta investasi energi terbarukan memperlihatkan kedalaman kerja sama bilateral. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran soal ketergantungan ekonomi dan dominasi investasi Tiongkok di sektor strategis.

Sosial - Budaya, Jalan Panjang dan Identitas 

Interaksi antara masyarakat Indonesia dan Tiongkok sebenarnya jauh lebih tua daripada hubungan diplomatik resmi. Jejak migrasi, perdagangan, dan pertukaran budaya sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Di era modern, hubungan budaya ini semakin hidup melalui pendidikan, pariwisata, dan pertukaran mahasiswa.

Oleh karena itu, pembangunan hubungan sosial-budaya di masa depan harus mengedepankan prinsip kesetaraan, saling menghormati identitas, dan menghindari stereotip yang merusak.

Dimensi Politik dan Keamanan, Antara Peluang dan Tantangan 

Selain aspek ekonomi dan budaya, dimensi politik dan keamanan juga memainkan peran penting dalam hubungan kedua negara. Tiongkok sering menekankan hubungan people-to-people dan solidaritas sejarah anti-kolonial. Namun, ada isu strategis yang memicu ketegangan, terutama sengketa Laut Cina Selatan.

Indonesia memang bukan negara pengklaim utama, tetapi Beijing mengklaim sebagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara melalui konsep “Nine Dash Line”. Meskipun Tiongkok telah mengakui kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna, insiden masuknya kapal nelayan dan kapal penjaga pantai Tiongkok ke wilayah ZEE Indonesia terus menimbulkan gesekan diplomatik.

Di sisi lain, Indonesia berusaha menjaga posisi seimbang: tetap memperkuat kerja sama ekonomi dengan Tiongkok, namun juga membangun kemitraan pertahanan dengan Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan negara-negara ASEAN. Strategi ini disebut banyak analis sebagai hedging policy, yakni tidak berpihak total pada satu kekuatan, tetapi tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak.

Refleksi dan Arah Strategis 

Refleksi 75 tahun hubungan Indonesia - Tiongkok memperlihatkan dinamika yang kompleks: solidaritas ideologis, ketegangan politik, normalisasi, hingga kemitraan strategis. Sejarah ini mengajarkan bahwa hubungan kedua negara selalu dipengaruhi oleh konteks domestik dan geopolitik global.

Ke depan, Indonesia harus mampu mengelola hubungan ini dengan prinsip bebas-aktif, memperkuat kemandirian ekonomi, menjaga kedaulatan maritim, serta membangun kapasitas diplomasi yang adaptif. Indonesia juga harus mengedepankan pendekatan multi-track diplomacy: tidak hanya antar-pemerintah, tetapi juga kerja sama masyarakat, akademisi, dan sektor swasta.

Tantangan besar akan datang dari rivalitas AS-Tiongkok, ketergantungan ekonomi, serta dinamika keamanan di Laut Cina Selatan. Namun, peluang juga terbuka, industrialisasi hijau, transformasi digital, energi terbarukan, hingga kerja sama pendidikan dan budaya.

Dengan refleksi yang tajam dan strategi yang tepat, hubungan Indonesia-Tiongkok dalam 75 tahun ke depan tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga menjadi motor penggerak stabilitas, perdamaian, dan kemakmuran di kawasan Asia-Pasifik.

* Pemerhati isu Strategis  

Opini yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis. Isi artikel tidak mencerminkan pandangan maupun sikap editorial Bolong.id.

Informasi Seputar Tiongkok