HSBC dan Standard Chartered - Image from gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami
Hong Kong, Bolong.id - Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong yang telah disahkan pada 28 Mei 2020 lalu, tak bisa dipungkiri mengundang pro kontra dari berbagai pihak. Ada yang mencemooh, meski tak sedikit yang mendukung, seperti yang dilakukan bank HSBC (Hongkong and Shanghai Banking Corporation) dan StanChart (Standard Chartered). Diketahui, pada Rabu (03/06/2020) lalu, Kepala Eksekutif HSBC Asia Pasifik, Peter Wong (王冬勝) telah menandatangani petisi dukungannya terkait UU Keamanan Nasional Hong Kong.
Mengutip dari BBC, dukungan atas UU Keamanan ini datang pada saat sebuah perusahaan jasa keuangan milik Jepang, Nomura Holdings, menyatakan keseriusannya untuk mengaudit keuangan di Hong Kong. Keterlibatan HSBC dengan StanChart diyakini merupakan sesuatu yang tidak lazim, mengingat mereka masuk dalam ranah debat publik, khususnya yang mengundang kontroversi. Pihak HSBC sendiri berkilah dan menyebut jika undang-undang tersebut akan berkontribusi dalam memberikan lingkungan bisnis yang stabil. Di laman media sosialnya, bank HSBC bahkan menyatakan dukungannya dengan menuliskan kalimat, “Menghormati dan mendukung semua undang-undang yang dapat menstabilkan tatanan sosial Hong Kong."
Standard Chartered juga menyatakan dukungannya dengan menuliskan kalimat, "Kami percaya hukum keamanan nasional dapat membantu menjaga stabilitas ekonomi dan sosial Hong Kong dalam jangka panjang. Prinsip 'satu negara, dua sistem' adalah inti dari kesuksesan masa depan Hong Kong dan selalu menjadi landasan kepercayaan komunitas bisnis."
Dukungan HSBC dan StanChart tersebut tak pelak membuat konglomerat media Hong Kong, Jimmy Lai (黎智英), mengkritik atas menyerahnya kedua perusahaan ini kepada Pemerintah Tiongkok. Dirinya yang merupakan seorang pro demokrasi dan dicap oleh media Pemerintah Tiongkok sebagai pengkhianat, secara terang-terangan menentang pemerintah atas disahkannya UU Keamanan Nasional tersebut. Dirinya berpendapat, jika kedua perusahaan ini berada di bawah tekanan Pemerintah Tiongkok yang apabila mereka tidak menyetujuinya, maka akan menerima konsekuensi tertentu.*
Advertisement