Lama Baca 9 Menit

Dubes China Sebut Menlu AS Mike Pompeo Provokasi Hubungan China-Indonesia

30 October 2020, 08:06 WIB

Dubes China Sebut Menlu AS Mike Pompeo Provokasi Hubungan China-Indonesia-Image-1

Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, XIao Qian - Image from China Embassy

Jakarta, Bolong.id - Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xiao Qian angkat bicara soal kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo ke Indonesia.

Xiao Qian menuding Pompeo melakukan serangan terhadap Tiongkok dan melakukan provokasi.

"Di tengah kunjungannya ke Indonesia, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo telah melakukan serangan yang tidak berdasar terhadap Tiongkok, telah memprovokasi hubungan Tiongkok-Indonesia, serta telah mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan. Tiongkok menentang keras hal ini," ujar Xiao Qian dalam keterangan yang disampaikan di situs resmi Kedutaan Besar Tiongkok, Kamis (29/10/2020).

Xiao Qian menyebut pernyataan keliru dari Pompeo menunjukkan intensi buruk dari AS. Hal itu dinilai justru memperlihatkan adanya masalah serius di dalam internal AS.

"Tindakan dan pernyataan keliru Pompeo belakangan ini telah semakin menyingkapkan intensi buruk AS, sekaligus menggarisbawahi adanya problem serius di dalam internal AS sendiri," ujarnya.

Dubes Xiao Qian pun memberikan sejumlah pernyataan untuk menanggapi apa yang diungkap Mike Pompeo, seperti di bawah ini:

Pernyataan Dubes Xiao Qian

AS adalah provokator "Perang Dingin Baru"

Adalah merupakan pilihan historis sekaligus pilihan rakyat yang memungkinkan Partai Komunis Tiongkok menjadi pemandu rakyat Tiongkok dalam melangkah pada jalur perkembangan yang sesuai dengan kondisi nasional Tiongkok sendiri. Tiongkok berkomitmen untuk membangun kerja sama bersahabat dengan negara-negara lain atas dasar Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai. Tiongkok juga berkomitmen untuk tidak mengekspor ideologinya ataupun mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Namun AS justru meluncurkan apa yang disebut "Perang Dingin Baru", memprovokasi pertentangan ideologi, dan membangkitkan "revolusi berwarna" di berbagai belahan dunia. AS juga secara brutal mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, bahkan tidak segan menggunakan perang dan mendatangkan malapetaka bagi dunia.

AS adalah penyebar super "virus politik"

Tiongkok berpegang pada prinsip "rakyat dan keselamatan jiwa adalah prioritas utama" dalam melakukan upaya pengendalian dan pencegahan pandemi Covid-19 yang ilmiah dan efektif, dengan cara yang terbuka, transparan, dan bertanggung jawab. Tiongkok juga gencar menggalang kerja sama internasional untuk menangani pandemi, serta aktif membangun komunitas kesehatan umat manusia. Sementara itu, para politisi AS menjalankan kebijakan "kepentingan politik sendiri adalah prioritas utama", telah meremehkan pandemi dan mengabaikan sains, sehingga mengakibatkan penyebaran wabah yang lepas kendali dan mendatangkan penderitaan bagi rakyat tidak berdosa. AS sedang menyebarkan "virus politik", menimpakan kesalahan kepada pihak lain, menyerang WHO tanpa alasan yang rasional, dan bahkan keluar dari keanggotaan WHO. Tindakan AS ini telah mengganggu kerja sama global untuk menangani pandemi.

AS adalah penghambat bagi kerja sama dan keterbukaan dunia

Inisiatif "Belt and Road" yang diprakarsai Tiongkok bertujuan untuk mewujudkan keuntungan bagi semua pihak, dengan berlandaskan pada prinsip "konsultasi bersama, pembangunan bersama, dan berbagi manfaat bersama", keterbukaan, inklusivitas, dan transparansi. Inisiatif ini telah mendapat tanggapan dan dukungan dari seratus lebih negara dan organisasi internasional. Banyak proyek dalam insiatif ini, misalnya Proyek KA Cepat Jakarta-Bandung, telah membawa manfaat nyata bagi negara-negara yang terlibat, termasuk Indonesia. Sebaliknya, pemerintah AS menjalankan prinsip "America First", melakukan proteksionisme perdagangan dan perundungan perdagangan, serta membelokkan rantai industri global. AS juga menggunakan kebijakan perdagangan unilateral untuk menekan negara-negara tertentu. Aksi AS ini telah mengganggu sistem perdagangan multilateral dan tatanan ekonomi internasional, telah menghambat perkembangan normal negara-negara di dunia, serta telah menghalangi upaya menggalang kerja sama dan keterbukaan global.

AS adalah negara peretas terbesar di dunia

Tiongkok telah mengajukan Inisiatif Keamanan Data Global demi keamanan jaringan internet dunia. Huawei, ZTE, dan berbagai perusahaan Tiongkok lainnya sudah melakukan kontribusi nyata bagi perkembangan infrastruktur telekomunikasi global. Sebaliknya AS, demi melindungi hegemoni teknologi dan kepentingan monopolinya sendiri, telah menggeneralisasi konsep keamanan nasional dan menyalahgunakan kekuasaan negara untuk menekan perusahaan Tiongkok secara sewenang-wenang. Dinas intelijen AS sejak lama telah melakukan penyadapan yang membabi-buta dan ilegal terhadap pemerintah, bisnis, maupun individu dari negara-negara lain, termasuk dari negara-negara sekutu mereka sendiri. Tindakan ini telah mendatangkan ancaman besar bagi keamanan nasional di berbagai negara. Aksi AS yang ibaratnya "maling teriak maling" ini adalah sesuatu yang konyol.

AS adalah pencipta penderitaan bagi dunia Muslim

Konstitusi Tiongkok melindungi kebebasan beragama segenap warganya, juga hak-hak sah dari semua etnik minoritas. Hak asasi rakyat semua etnik di Xinjiang sepenuhnya terjamin. Tiongkok adalah sahabat tulus bagi dunia Muslim, yang senantiasa teguh mendukung perjuangan adil rakyat Palestina. Sebaliknya, pemerintah AS justru menerbitkan "Muslim Ban" (larangan bagi Muslim untuk masuk AS), mengabaikan hak dan kepentingan legal Palestina dalam konflik dengan Israel, membangkitkan "revolusi berwarna" di sejumlah negara Muslim, meluncurkan perang proksi, dan bahkan melakukan serangan langsung terhadap negara lain tanpa alasan valid. Semua ini mendatangkan instabilitas, konflik, perpecahan, dan penderitaan berkepanjangan bagi dunia Muslim.

AS adalah faktor paling berbahaya bagi perdamaian di Laut Tiongkok Selatan

Laut Tiongkok Selatan merupakan rumah bersama bagi negara-negara di kawasan. Tiongkok telah bekerja sama dengan negara-negara di kawasan untuk memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan, mendorong kerja sama dan perkembangan, serta menyelesaikan pertikaian dengan sebaik-baiknya melalui konsultasi dan negosiasi bersahabat. Sedangkan AS, demi kepentingan hegemoni maritimnya, justru tidak pernah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), tetapi malah bertingkah sebagai pembela UNCLOS. Demi kepentingan geopolitiknya, AS juga terus-menerus memprovokasi konflik, memamerkan kekuatan militer, dan menciptakan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan. Ini adalah pendorong terbesar bagi militerisasi Laut Tiongkok Selatan, dan merupakan faktor paling berbahaya yang menghancurkan perdamaian di Laut Tiongkok Selatan.

AS adalah perusak kerja sama regional

"Strategi Indo-Pasifik" yang dicetuskan AS penuh nuansa konfrontasi militer dan mentalitas Perang Dingin. Strategi ini berupaya membangun sesuatu yang disebut sebagai sebuah "NATO" baru versi kawasan Indo-Pasifik, yang akan dipimpin oleh AS sendiri. Langkah ini bertentangan dengan semangat kerja sama yang saling menguntungkan di Asia Timur, menyerang posisi sentral dan kepemimpinan ASEAN dalam urusan regional, sekaligus merusak momentum positif kerja sama Asia Timur yang telah berlangsung sekian lama. Langkah yang membalikkan sejarah ini merupakan ancaman besar bagi perdamaian dan stabilitas kawasan.

Lebih lanjut, Xiao Qian meminta AS menghentikan kebijakan yang dinilainya keliru karena bermusuhan dengan Tiongkok. Ia juga meminta AS berhenti memprovokasi dan mengintervensi hubungan kerja sama Tiongkok dengan negara-negara lain.

"Roda sejarah terus berputar, tren sejarah terus bergulung. Perdamaian dan kemajuan dunia adalah kecenderungan yang tidak mungkin diputar mundur kembali. Sejumlah politisi AS harus menghentikan kebijakan keliru yang bermusuhan terhadap Tiongkok. Mereka juga harus berhenti memprovokasi dan mengintervensi hubungan kerja sama bersahabat antara Tiongkok dengan negara-negara lain di kawasan, berhenti mengganggu perdamaian dan stabilitas regional, serta berhenti menginjak-injak keadilan internasional. Kalau tidak, semua upaya mereka itu hanya akan berakhir dengan kegagalan total," pungkasnya. (*)