Lama Baca 7 Menit

COVID-19 Masih Teror Dunia, Mengapa Warga China Hidup Damai?

07 December 2020, 15:03 WIB

COVID-19 Masih Teror Dunia, Mengapa Warga China Hidup Damai?-Image-1

Ilustrasi - Image from China's Media

Beijing, Bolong.id - Artikel Komsomolskaya Pravda Rusia pada Jumat (4/12/20), dengan judul asli: Почему коронавирус терроризирует весь мир, а Китай, где он появился, живет спокойно (Mengapa COVID-19 meneror seluruh dunia, sementara Tiongkok, tempat kemunculannya, hidup damai),  bukankah itu keajaiban?

Saat ini, COVID-19 sedang berkecamuk di seluruh dunia, dan ribuan orang terbunuh setiap harinya. Dalam waktu yang bersamaan, kehidupan masyarakat Tiongkok sangat stabil, dengan sangat sedikit kasus setiap hari. Untuk menjelaskan fenomena ini, reporter mewawancarai ahli terkait, yakni Profesor Artem Gili (Артему Гилю) dari Universitas Kedokteran Negeri Sechenov Moskow.

Profesor Gili berkata bahwa semua negara saat ini tengah serius mempelajari pengalaman Tiongkok. Para peneliti dengan suara bulat percaya, alasan keberhasilan Tiongkok terletak pada tindakan pencegahan dan pengendalian yang ketat dari pemerintah, dan kepatuhan ketat masyarakat terhadap peraturan pencegahan pandemi. Tiongkok tidak memalsukan data. Jika pandemi di Tiongkok berkembang seperti Amerika Serikat dan Eropa, orang pasti akan melihat tindakan isolasi yang sangat ketat di banyak tempat.

Selain itu, Tiongkok sedang mengambil jalan kekuatan teknologi. Penelitian dan pengembangan vaksin Tiongkok berada dalam keadaan yang sangat siap, dan vaksinasi massal akan dimulai pada suatu saat, serta akan diselesaikan dengan cepat dengan cara yang sangat terorganisir, sama seperti mereka memerangi pandemi di Wuhan. Di Tiongkok, kekebalan kelompok akan dicapai melalui vaksinasi, bukan melalui infeksi skala besar dan kematian penduduk.

Tiongkok telah menggunakan teknologi digital dengan sangat efektif untuk melawan pandemi dan memiliki sistem deteksi yang paling kuat. Misalnya, belasan orang di Qingdao sebelumnya pernah terinfeksi COVID-19. Menurut standar Tiongkok, ini darurat. Maka sebanyak 11 juta penduduk setempat diuji dalam beberapa hari. Penyelesaian tes skala ini dalam waktu sesingkat itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah pengobatan manusia. Sebelum pandemi, Tiongkok sudah memiliki industri manufaktur farmasi dan peralatan medis yang kuat.

Profesor Gili mengatakan bahwa Rusia perlu belajar dari pengalaman Tiongkok, tetapi "Saat ini, dengan pandemi yang meliputi seluruh wilayah Rusia, jika kita melacak semua kontak, sistem medis kita akan runtuh. Kita tidak memiliki cukup tenaga kerja dan sumber daya, juga tidak memiliki teknologi IT untuk membantu. Oleh karena itu, saya harus menempuh jalan saya sendiri," mengutip Komsomolskaya Pravda.

Artikel Straits Times Singapura pada Minggu (6/12/20), judul asli: China increasingly confident in curbing spread of Covid-19 (Tiongkok semakin percaya diri dalam meredam penyebaran COVID-19). Dalam sebulan terakhir ini, ada beberapa kasus COVID-19 di Tiongkok. Meskipun mengakui bahwa mereka berada di bawah tekanan yang lebih besar dalam hal pencegahan pandemi, Tiongkok belum mengadopsi pembatasan nasional yang lebih ketat - ini menunjukkan kepercayaan pemerintah Tiongkok dalam menahan dan mengendalikan penyebaran COVID-19.

Tidak seperti gelombang demi gelombang pandemi di Amerika Serikat dan Eropa yang hampir membuat rumah sakit setempat di ambang kehancuran, Tiongkok sejauh ini berhasil mengendalikan infeksi massal — baik di Shanghai, Tianjin, Mongolia Dalam, dan Xinjiang. Pakar dan pengamat Tiongkok mengaitkan ini dengan pengujian skala besar Tiongkok yang telah dicoba dan diuji, pelacakan kontak, tindakan karantina, dan sistem peringkat risiko pandemi yang membatasi ruang lingkup aktivitas orang-orang di daerah berisiko tinggi.

Musim dingin ini, Beijing telah meningkatkan kemampuannya untuk melacak infeksi. Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok baru-baru ini menyatakan bahwa mereka telah memobilisasi kembali dan mengerahkan kembali pekerjaan pencegahan dan pengendalian pandemi musim dingin nasional. 

Pelatihan online dan latihan tempur yang sebenarnya telah dilakukan. Saat ini, total 2,95 juta orang di Tiongkok telah berpartisipasi dalam pelatihan. Selain itu, menurut statistik (yang tidak lengkap), hingga saat ini, lebih dari 7.000 klinik demam telah diselesaikan di rumah sakit umum di atas level 2 di Tiongkok. 

Media Tiongkok menyatakan bahwa “dibandingkan dengan kekurangan pasokan medis dan penjadwalan yang buruk pada tahap awal pandemi, kami sekarang telah mengumpulkan banyak pengalaman dalam memerangi pandemi”.

Saat ini, langkah-langkah Tiongkok untuk mengatasi pandemi telah menjadi semakin ditargetkan. Tujuannya adalah demi membawa kasus lokal COVID-19 mendekati nol sebelum vaksin tersedia, dan kemungkinan akan terus menerapkan strategi "pemadam api" yang efektif, sebagaimana dilansir dari Global Times.

Sedangkan di Indonesia, pemerintah dinilai tidak memiliki perencanaan, target, dan implementasi yang jelas dalam penanganan COVID-19. Virus Sars Cov-II ini sudah “bermukim” selama sembilan bulan di Tanah Air dan orang yang positif semakin bertambah.

Dilansir dari Sindo News, berdasarkan data Satuan Tugas ( Satgas) Penanganan COVID-19 , jumlah orang yang positif COVID-19 mencapai 538.883. Jumlah orang yang sembuh sebanyak 450.518 dan meninggal dunia 16.945 orang. November lalu, beberapa rekor jumlah orang terkonfirmasi positif dalam 24 jam terjadi, yakni di atas 5.000 dan 6.000 kasus.

Epidemiologi Kamaluddin Latief mengatakan salah satu kelemahan Indonesia itu tidak mau belajar dari kesuksesan negara lain dalam menanggulangi pandemi COVID-19. Negara ASEAN yang berhasil menekan penyebaran virus Sars Cov-II juga belajar mengenai kebijakan dan langkah strategis dari negara yang lebih dulu sukses.

Sementara itu, Indonesia belum juga bisa mengendalikan penularan COVID-19. “Saya melihat akan begini terus sepanjang tidak ada perubahan mendasar oleh pemerintah. Akhirnya, Presiden Jokowi cuma bisa mengeluh lagi dan lagi. Kecewa lagi dan lagi,” pungkasnya. (*)