Lama Baca 5 Menit

7 Bulan Indonesia Melawan COVID-19, Jokowi: Jangan Anggap Pemerintah Mencla-Mencle

04 October 2020, 13:30 WIB

7 Bulan Indonesia Melawan COVID-19, Jokowi: Jangan Anggap Pemerintah Mencla-Mencle-Image-1

Presiden RI Joko Widodo - gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami

Jakarta, Bolong.id - “7 bulan sudah kita bersama-sama menghadapi pandemi ini. Saya paham masih banyak tantangan, namun tidak sedikit yang telah kita kerjakan,” ungkap Presiden Indonesia Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi dalam unggahan video di akun YouTube Sekretariat Presiden pada Sabtu (3/10/2020) malam.

Dalam video tersebut, Jokowi menegaskan bahwa kesehatan masyarakat adalah prioritas yang harus diutamakan. Akan tetapi, memprioritaskan kesehatan, bukan berarti harus mengorbankan ekonomi. Jokowi berpendapat, jika ekonomi dikorbankan, maka hal ini sama saja dengan mengorbankan puluhan juta kehidupan. Sehingga, perlu dicari titik keseimbangan di antara keduanya.

“Sekali lagi, kita harus mencari keseimbangan yang pas,” tutur Jokowi. Ia juga menambahkan, “Oleh sebab itu, saya dan seluruh jajaran pemerintah selalu berupaya mencari keseimbangan itu. Tidak perlu sok-sokan.. Akan me-lockdown provinsi, me-lockdown kota, atau me-lockdown kabupaten, karena akan mengorbankan kehidupan masyarakat, tapi kita harus tetap serius mencegah penyebaran wabah supaya tidak meluas.”

Di sisi lain, Jokowi juga memperlihatkan bahwa penanganan COVID-19 di Indonesia tidaklah buruk. Jika dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk besar lainnya, Indonesia terbilang cukup baik. Saat ini, Indonesia berada di peringkat 23 dengan 295.499 kasus positif COVID-19, kalah jauh dari Amerika Serikat dengan kasus mendekati 7,5 juta infeksi, India dengan 6,39 juta kasus, Brasil dengan 4,84 juta kasus, Rusia dengan 1,19 juta kasus, dan Kolombia dengan 835 ribu kasus COVID-19.

Di bidang ekonomi, kemunduran ekonomi Indonesia terbilang “tidak jelek-jelek amat”, kata Jokowi, sembari memperlihatkan grafik perbandingan dengan negara-negara ASEAN lainnya pada kuartal kedua tahun 2020. Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi sebesar -6,3%, sementara Thailand -12,2%, Singapura -13,2%, Filipina -16,5%, dan Malaysia -17,1%.

Per 30 September 2020, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan hampir Rp175 triliun untuk membantu masyarakat dalam menghadapi pandemi COVID-19 melalui berbagai program pemerintah, seperti pembagian sembako, kartu pra-kerja, BLT dana desa, subsidi, dan lain-lain.

Akan tetapi, Jokowi belum puas dengan angka-angka tersebut. “Kendati demikian, saya juga belum puas, saya ingin menteri-menteri lebih baik lagi dalam bekerja, mencari program yang lebih tepat sasaran, semua harus terus kita perbaiki, masih banyak kerja keras yang perlu kita kerjakan, kita harus terus melakukan penyesuaian kebijakan, mencari yang lebih baik.”

“Setelah tujuh bulan, banyak yang bisa kita pelajari dari wabah ini, misalnya pembatasan sosial. Saya kira harus kita sesuaikan, untuk itu saya menekankan pentingnya pembatasan sosial skala mikro, atau mini lockdown. Kita buat lebih terarah, spesifik, fokus, dan tajam untuk mengatasi masalah Covid, tapi tidak membunuh ekonomi dan kehidupan masyarakat, ini yang harus kita lakukan,” jelas Jokowi sebelum menegaskan, “Penyesuaian kebijakan itu jangan dianggap pemerintah mencla-mencle. Covid ini masalah baru. Seluruh dunia juga sama, belum ada negara yang berani mengklaim sudah menemukan solusi yang terbaik…”

Sementara itu, mitra perdagangan terbesar Indonesia, Tiongkok, selain sudah berhasil menekan jumlah kasus COVID-19 tetap di angka 85 ribuan dengan kasus harian tidak pernah melebihi 2 digit sejak Maret lalu, negara ini juga menunjukkan tren pemulihan ekonomi yang relatif cepat. 

Menurut para analis, dalam menghadapi wabah COVID-19 ini, pemerintah Tiongkok selalu menomorsatukan keselamatan dan kesehatan fisik rakyat. Secara ilmiah dapat mengkoordinasi pencegahan dan pengontrolan wabah serta pemulihan produksi untuk mempercepat pemulihan ekonomi Tiongkok. Sementara itu, negara dengan populasi 1,4 miliar jiwa ini tentu memiliki kebutuhan konsumsi yang terus meningkat. Hal ini, menjadi tunjangan kuat bagi ekonomi Tiongkok, sedangkan rantai industri yang lengkap, teknologi yang canggih, dan tenaga ahli yang memadai membuat ekonomi Tiongkok selalu punya daya saing yang kuat. (*)