Lama Baca 3 Menit

Obat Antimalaria Dapat Tingkatkan Risiko Kematian COVID-19? Fakta Atau Hoax?

23 May 2020, 20:23 WIB

Obat Antimalaria Dapat Tingkatkan Risiko Kematian COVID-19? Fakta Atau Hoax?-Image-1

Hydroxychloroquine - Image from : gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami

Selain obat-obatan tradisional Tiongkok, obat-obatan lainnya juga telah dilakukan uji coba untuk membantu penanganan COVID-19, salah satunya Hydroxychloroquine. Dalam sebuah studi yang diterbitkan di The Lancet pada hari Jumat, 22 Mei 2020, menunjukkan bahwa ada kaitan antara peningkatan risiko kematian dan masalah jantung yang serius dengan penggunaan Hydroxychloroquine, obat antimalaria yang dipromosikan oleh Presiden AS Donald Trump sebagai "game changer" untuk mengobati pasien COVID-19.

Studi internasional tersebut menganalisis lebih dari 96 ribu data pasien COVID-19 yang dirawat di 671 rumah sakit di enam benua selama akhir Desember hingga pertengahan April. Pasien COVID-19 yang sakit parah yang dirawat dengan hydroxychloroquine atau chloroquine, obat serupa, lebih mungkin meninggal atau menderita aritmia jantung serius, yaitu irama jantung yang tidak teratur yang dapat menyebabkan henti jantung mendadak.

Sekitar 15 ribu pasien berada dalam kelompok pengobatan yang telah menerima hydroxychloroquine atau chloroquine atau yang dikombinasikan dengan antibiotik. Dan lebih dari 81 ribu pasien berada dalam kelompok kontrol. Perbedaan antara kedua kelompok tersebut sangat mencolok. Dibandingkan dengan tingkat kematian pada kelompok kontrol (9,3%), keempat perawatan (hydroxychloroquine saja, chloroquine saja, hydroxychloroquine dikombinasikan dengan antibiotik, chloroquine dikombinasikan dengan antibiotik) memiliki kaitan dengan peningkatan risiko kematian di rumah sakit, mulai dari 16,4% hingga 23,8%.

Aritmia jantung serius juga lebih umum di antara pasien yang menerima salah satu dari keempat perawatan. Sementara hanya 0,3% pasien dalam kelompok kontrol yang memiliki masalah, 6,1% pasien yang diobati dengan hydroxychloroquine kemudian menderita aritmia jantung, dan 8,1% untuk kelompok yang diobati dengan hydroxychloroquine yang dikombinasikan dengan antibiotik. Para peneliti menyesuaikan faktor-faktor demografis seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit paru-paru, perokok, imunosupresi, dan keparahan awal penyakit. "Temuan ini sama sekali tidak memberikan alasan optimis bahwa obat ini mungkin berguna dalam pencegahan atau pengobatan COVID-19," kata David Maron, selaku direktur kardiologi preventif di Fakultas Kedokteran Universitas Stanford.


Sumber: ecns.cn