
Bolong.id, Beijing — Presiden Prabowo Subianto berdiri di panggung utama Lapangan Tiananmen, sejajar dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Kehadirannya dalam Parade Kemenangan memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II di Asia menempatkan Indonesia di sorotan internasional, dengan framing media yang berbeda-beda di kawasan.
Kunjungan ini dilakukan di tengah situasi domestik yang penuh tekanan. Gelombang protes di sejumlah kota Indonesia masih berlangsung, menyoroti kebijakan ekonomi dan politik yang dianggap belum menjawab kebutuhan masyarakat. Namun, Prabowo tetap memutuskan untuk terbang ke Beijing, menegaskan bahwa agenda diplomasi luar negeri tidak bisa ditunda meski di dalam negeri terjadi ketegangan.

Di Tiongkok, sorotan media begitu jelas. Foto Prabowo berdiri di samping Xi dan Putin dipublikasikan secara luas di halaman depan surat kabar dan portal daring besar. Kehadirannya tidak digambarkan sebagai tamu pelengkap, melainkan sebagai simbol pengakuan. Bagi audiens Tiongkok, parade ini adalah perayaan global, bukan sekadar peristiwa nasional. Kehadiran pemimpin Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, dipandang sebagai validasi bahwa Tiongkok dihormati oleh para tokoh dunia. Dalam logika media, pemilihan gambar memiliki makna politik: Prabowo ditampilkan karena Indonesia dianggap penting untuk legitimasi internasional Tiongkok.

Di Jepang, liputan mengambil arah berbeda. Media besar di Tokyo menyoroti “trio” Xi–Putin–Kim, dengan narasi yang menekankan kebangkitan blok Timur di hadapan Barat. Prabowo nyaris tidak ditampilkan dalam pemberitaan. Bagi sebagian pengamat Indonesia, ini tampak seperti pengabaian. Namun konteks sejarah menjadi kunci: parade tersebut secara resmi memperingati “80 tahun kemenangan Tiongkok atas fasisme Jepang.” Narasi di Jepang pun lebih terpusat pada hubungan Tiongkok–Jepang, sehingga Indonesia tidak masuk ke dalam bingkai yang dipilih.
Kontras pemberitaan ini justru menguntungkan Indonesia. Di Beijing, Prabowo digambarkan sebagai bagian dari lingkaran inti kekuatan dunia. Di Tokyo, Indonesia tetap berada di luar kerangka blok politik yang secara historis berlawanan dengan Barat. Dengan kata lain, Indonesia memperoleh pengakuan dari Tiongkok, namun tetap menjaga posisi bebas dari kubu geopolitik tertentu.
Sejak era Sukarno, politik luar negeri Indonesia berlandaskan prinsip “bebas aktif.” Artinya, Indonesia tidak mengikatkan diri pada salah satu blok besar dunia, tetapi tetap aktif dalam diplomasi internasional. Kehadiran Prabowo di Beijing menunjukkan bahwa prinsip tersebut tetap relevan di tengah dunia yang semakin terpolarisasi. Dengan berdiri di samping Xi dan Putin, Indonesia memperlihatkan bahwa ia dihormati oleh kekuatan Timur. Dengan tidak digolongkan sebagai bagian dari “trio” dalam pemberitaan Jepang, Indonesia menjaga ruang aman untuk tetap diterima di Barat.

Simbolisme ini tidak bisa diremehkan. Dalam politik internasional, foto sering kali berbicara lebih keras daripada pernyataan resmi. Gambar Prabowo di panggung utama Beijing menjadi pesan bahwa Indonesia bukan sekadar penonton, melainkan aktor yang diperhitungkan dalam percaturan global. Bagi publik domestik, keputusan Prabowo meninggalkan Indonesia saat terjadi protes tentu akan diperdebatkan. Namun bagi audiens internasional, pesan yang sampai adalah bahwa Indonesia memiliki kursi di meja besar geopolitik dunia.
Indonesia memang memiliki modal besar untuk memainkan peran tersebut. Dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta jiwa, ekonomi yang kini masuk 20 besar dunia, serta posisi strategis di jalur perdagangan internasional, Indonesia bukan lagi sekadar negara regional. Perannya di ASEAN, G20, dan berbagai forum multilateral sudah lama menempatkan Indonesia sebagai kekuatan menengah yang diperhitungkan. Kehadiran Prabowo di Beijing hanya menegaskan status itu di mata dunia.
Meski begitu, tantangan terbesar tetap berada di dalam negeri. Pengakuan internasional akan sulit dipertahankan jika stabilitas domestik tidak terjaga. Protes yang masih berlangsung menandakan adanya kesenjangan antara legitimasi di luar negeri dan persepsi publik di dalam negeri. Untuk mempertahankan kredibilitas diplomasi bebas aktif, Indonesia perlu memastikan bahwa kekuatan domestik dan daya tarik global berjalan seimbang.
Kunjungan Prabowo pada 3 September 2025 dengan demikian bukan sekadar acara seremonial. Kehadiran di panggung utama Beijing menyampaikan pesan ganda: Indonesia diakui oleh Tiongkok sebagai mitra setara, sekaligus tidak terseret dalam narasi blok Timur di mata Jepang. Ini adalah bentuk nyata dari strategi bebas aktif yang sejak lama menjadi fondasi politik luar negeri Indonesia.
Advertisement
