JAKARTA, 1 November (Xinhua) -- Deretan lukisan beraliran kontemporer tampak terpampang di dinding sebuah studio seni rupa. Karya-karya tersebut mengusung beraneka tema, mulai isu personal hingga fenomena sosial, seolah mewakili impresi sang perupa yang dituangkan ke atas permukaan kanvas.
"Saya tertarik mengangkat hal pribadi yang terjadi di kehidupan manusia, seperti kemanusiaan, kesetaraan gender, ras, tingkat kemiskinan, psikologis, isu kekerasan seksual, isu kegundahan perjalanan iman, lingkungan, hingga fenomena sosial seperti game online," ujar Vonny Ratna Indah (46) yang ditemui Xinhua pada Senin (20/10) di kawasan Bintaro, Tangerang, Provinsi Banten.
Vonny, yang namanya mudah ditemui menghiasi berita media lokal, telah menelurkan ratusan lukisan sepanjang perjalanan kariernya di Indonesia, Singapura, hingga Korea dan Jepang. Dirinya pun mengakui jika setiap karya tersebut seolah turut menjadi saksi bisu perjalanan dirinya memaknai kehidupan.

"Saya menganggap setiap karya yang dibuat adalah bahasa visual untuk mengutarakan pendapat dan pandangan pribadi ataupun masyarakat," ujarnya seraya menambahkan jika dalam setiap karyanya selalu diawali riset terlebih dahulu.
Wanita lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tersebut, yang lahir dan menghabiskan masa kecil dan remaja di Palembang, Sumatera Selatan, mengakui jika awalnya tak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang pelukis.
"Waktu kecil cita-cita saya menjadi arsitek dan tidak melihat dunia seni cukup menjanjikan, ditambah di keluarga sendiri tidak ada yang berlatar belakang seni atau pun menjadi seniman," ujar Vonny yang menyabet gelar cum laude di kedua latar belakang pendidikannya.
Kenikmatan melukis, diakui Vonny, meski telah dilakoni dirinya sejak duduk di bangku sekolah dasar, semakin mengerucut karena apa yang disebutnya sebagai pengalaman sehari-hari terkait latar belakangnya.
SENI JADI PEMBUKTIAN IDENTITAS DIRI
Vonny, yang terlahir sebagai insan keturunan Tionghoa dan kerap dijuluki "minoritas" tersebut, mengakui bahwa latar belakang identitas menjadi hal pertama yang mewarnai kegundahan dirinya sejak masa belia, yang kelak banyak dituangkannya melalui karya seni.
"Waktu kecil saya sering dipanggil dengan julukan tertentu yang membuat saya bertanya kepada orang tua perihal latar belakang saya, terus terang saya tidak paham, tetapi mereka hanya berpesan agar saya tetap santun kepada orang lain," kisah Vonny.
Meski sangat mencintai Indonesia, Vonny mengaku kerap mendapatkan perlakuan yang berbeda di masa kecil, sehingga hal tersebut lantas menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benaknya.
"Ketika upacara bendera di sekolah dasar saya menjadi orang yang paling lantang untuk bernyanyi lagu kebangsaan dan mendoakan para pahlawan, tapi orang tua saya bahkan sengaja tidak mengajarkan bahasa leluhur mereka karena tidak ingin anak-anaknya dicap berbeda," ujarnya
Vonny mengenang, puncak dari kegundahan identitas tersebut tertuang ketika dirinya mendapat kesempatan sebagai artist-in-residence di Korea Selatan mewakili Indonesia pada 2006 silam. Kala itu, Vonny guna mengekspresikan kerisauan hatinya, justru mendapat dukungan dari kawan-kawan mancanegara untuk melahirkan karya bertajuk "100% Made in Indonesia" dengan dirinya berbaju kain berukuran 3x5 meter berwarna merah dan putih yang identik dengan bendera nasional Indonesia.

"Karya seni tersebut menyiratkan bahwa sejak dahulu saya selalu ingin dianggap sebagai orang Indonesia, yang saya merasa tidak pernah dapatkan. Saya sangat peduli dengan Indonesia, maka jadilah karya ini," ujar Vonny, yang lebih suka disebut sebagai seorang visual-artist.
Meski kadang merasa tidak diuntungkan dengan identitas dirinya dan kurang mendapat dukungan yang layak karena faktor tersebut, nyatanya hal itu tidak lantas menyurutkan niat Vonny mengeksplorasi sikapnya. Dari hal yang sifatnya pribadi hingga universal, realita justru membuat Vonny kian giat "bersuara" menyerukan lebih lanjut isu-isu di sekitarnya melalui karya seni.
KARYA SENI MEWAKILI KAUM LEMAH
Pada perjalanan selanjutnya, Vonny pun bertekad untuk terus konsisten mengusung berbagai tema yang menjadi keresahannya ke dalam karya seni dalam spektrum yang lebih luas.
"Pengalaman pribadi yang saya alami membuat saya merasa sangat tertarik untuk mengangkat isu-isu ketidaksetaraan, karena membentuk mental saya untuk membela pihak yang berada dalam posisi tidak diuntungkan," lanjut Vonny.
Isu gender dan stereotipe wanita menjadi salah satu yang menarik minat Vonny untuk dituangkan ke dalam seni. Pada 2009, salah satunya melalui karya instalasi bertajuk "What Will I be Tonight", dirinya menampilkan instalasi dressroom yang menyiratkan pesan bagaimana kaum wanita terkadang dipaksa untuk menjadi apa yang diinginkan untuk dilihat di mata sebagian kaum pria.
"Karya tersebut lebih kepada pesan moral untuk masyarakat bahwa pelecehan terhadap wanita mungkin sering terjadi karena mereka dianggap bodoh, padahal sebenarnya mereka paham dan hanya bermain peran," ujar Vonny yang kala itu melakukan riset dengan metode wawancara tertutup langsung terhadap lima individu berbeda.
Selanjutnya melalui karya fotografi bertajuk "Pure Breed" pada 2015, Vonny pernah mengibaratkan dirinya senasib dengan seekor anjing jalanan yang terlantar dan seringkali menerima nasib nahas di lingkungannya berada.
"Saya pernah membuat karya bersama anjing saya sendiri yang menggabungkan sorotan sinar x-ray dan seolah-olah menceritakan dua nasib yang sama, sama-sama tak diakui, di mana anjing liar yang tidak berdosa seringkali juga harus menerima kekerasan dari lingkungannya yang tidak bisa menerima," papar Vonny yang juga pecinta hewan tersebut.

Seolah tak berhenti mengolah ide di tengah keterbatasan situasi, ketika dirinya sedang merasa tidak percaya diri dengan kanvas, Vonny pun beralih menuangkan kegelisahannya melalui medium lain, yaitu kain dan boneka. Pameran bertajuk "Alive" di Artotel Jakarta pada 2024 lalu menjadi saksi bagaimana deretan objek boneka yang dipamerkan mewakili kisah para wanita yang patah semangat, mengalami abuse, tetapi kembali berjuang bangkit dengan cara memaafkan masa lalu.
"Banyak wanita yang mengalami hal serupa, oleh sebab itu bonekanya dinamai seperti orang-orang yang banyak kita temui sehari-hari, seperti Dewi, Shinta, Ayu, Sanirah, Enjun, dan Esih."
AKTUALISASI SAMPAI MATI
Kini, sejak pertama kali beraktualisasi di karya seni pada 2003 lalu, Vonny tak puas hanya menjadi perupa. Dirinya pun mengambil peran lebih di dunia seni, mulai dari bekerja profesional di galeri seni sebagai penghubung para seniman, desain grafis, desainer fesyen, fotografi, hingga meluangkan waktu menjadi dosen di lebih dari satu perguruan tinggi swasta di Jabodetabek.
Buah dari aktualisasi tersebut, Vonny pun mendirikan Kebun Seni pada 2017 lalu, nama yang mungkin cukup familiar sebagai wadah untuk kegiatan belajar mengajar di bidang seni dengan menggunakan metode berkebun dan rasa cinta lingkungan sebagai basis berpikir.
"Saya selalu enjoy liat sayur mayur di pasar malam. Ditambah lagi, saya prihatin melihat anak-anak sekarang tidak paham jenis sayuran, jenis pohon buah-buahan dan lain-lain, yang sebenarnya pengetahuan normal," ujar Vonny.
Diakuinya, Kebun Seni merupakan gabungan antara aktivitas mengajar yang sudah dilakukannya sejak kuliah dengan kepeduliannya terhadap lingkungan. "Karena saya selalu suka berkebun dan senang berada di lingkungan hijau dan berkarya, maka namanya Kebun Seni. Pengalaman saya dulu kecil tinggal di kampung pinggiran kota, jadi itu semacam jenis edukasi dalam memperkenalkan hal-hal yang natural alami."
Pada perjalanannya, Kebun Seni cukup produktif dengan menyelenggarakan berbagai workshop, seminar dengan mengundang tamu luar, kursus rutin, dan telah menyelenggarakan pameran untuk guru dan siswa. Ke depannya pada 2025 ini, Kebun Seni pun berencana akan bekerja sama dengan sebuah galeri.

Selain aktif membiduki Kebun Seni, Vonny pun tercatat memberikan kuliah di beberapa universitas swasta dengan subjek gambar bentuk, gambar suasana, gambar teknik, lab printmaking, dan teknik presentasi. Tak hanya itu, di lembaga-lembaga pendidikan tersebut, Vonny turut berbagi ilmu seputar sejarah seni, desain, serta production design di jurusan perfilman.
Seolah tak lelah beraktualisasi, untuk 2026 mendatang, Vonny pun telah disibukkan dengan mempersiapkan partisipasi karyanya di gelaran Art Jakarta Paper, pameran di Neha Hub, pameran Marwah yang identik dengan isu perempuan, serta pameran tunggal dirinya yang kedua.
Agenda yang padat tersebut seolah menjawab pertanyaan yang kami lontarkan kepada dirinya apakah keresahan dirinya telah surut setelah bertahun-tahun menekuni dunia seni dan menelurkan segudang karya.
"Seperti saya sebutkan tadi, berkarya adalah memenuhi panggilan hidup untuk bersuara, hal itu biasa saja layaknya seperti kita berkomunikasi, bernafas, berdenyut, beraktivitas, sehingga pasti tidak akan berhenti sampai mati," tutupnya lugas. Selesai
Advertisement
