Lama Baca 5 Menit

Komentar Xinhua: Filipina harus berhenti menyalahgunakan arbitrase dan ganggu stabilitas di Laut China Selatan

11 July 2024, 21:38 WIB

Komentar Xinhua: Filipina harus berhenti menyalahgunakan arbitrase dan ganggu stabilitas di Laut China Selatan-Image-1

Foto dari udara yang diabadikan menggunakan drone pada 17 Mei 2024 ini menunjukkan armada kapal Penjaga Pantai China (China Coast Guard/CCG) 3502 sedang menjalani latihan formasi di perairan dekat Huangyan Dao, China. (Xinhua/Wang Yuguo)

   BEIJING, 11 Juli (Xinhua) -- Dalam beberapa waktu terakhir, pemerintahan Filipina pimpinan Marcos saat ini secara aktif terlibat dalam provokasi sembrono di Laut China Selatan, sambil terus menyesatkan masyarakat internasional dengan menggembar-gemborkan "putusan arbitrase" yang sudah tidak berlaku dan batal sejak delapan tahun lalu untuk menutupi pelanggaran yang dilakukannya atas kedaulatan teritorial dan kepentingan maritim China.

   Inisiasi arbitrase sepihak oleh Filipina pada 2013 lalu telah ditetapkan bertentangan dengan hukum internasional, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Majelis arbitrase dalam arbitrase Laut China Selatan yang dibentuk atas permintaan sepihak Filipina tidak memiliki yurisdiksi, bersifat ab initio, dan putusan yang dihasilkannya tidak sah dan batal, serta tidak memiliki kekuatan mengikat.

   Faktanya, dalam sengketa ini, pihak Filipina adalah pihak pelanggar hukum internasional. Dimulai pada tahun 1970-an, pihak Filipina menginvasi dan secara ilegal menduduki paksa beberapa pulau serta terumbu karang di Nansha Qundao, yang merupakan bagian dari wilayah China, dan mengajukan klaim teritorial yang tidak sah. Hal ini menjadi inti dari perselisihan antara China dan Filipina di Laut China Selatan.

   Kasus arbitrase Laut China Selatan merupakan murni drama politik yang dipentaskan atas nama hukum, dengan Amerika Serikat (AS) sebagai dalang yang bermain di balik layar. Inisiasi arbitrase oleh Filipina tidak bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan dengan China, melainkan untuk menyangkal kedaulatan teritorial dan hak-hak maritim serta kepentingan China yang sah di Laut China Selatan.

   Meskipun pihak Filipina telah menggembar-gemborkan secara luas di kancah internasional, putusan arbitrase tersebut tidak memiliki legitimasi di bawah hukum internasional. Jelas, "arbitrase" di Laut China Selatan merupakan contoh lain dari upaya mendistorsi hukum internasional dan merongrong norma-norma hubungan internasional. "Putusan" yang dimanipulasi secara politis ini penuh dengan kesalahan dan bias, serta menginjak-injak aturan hukum internasional.

   Penyalahgunaan prosedur peradilan internasional merupakan salah satu tindakan keji yang diadopsi Filipina atas dorongan AS. Pemerintahan Filipina saat ini telah bermanuver melalui jalur diplomatik, legislatif, propaganda, dan cara-cara lainnya demi mewujudkan putusan ilegal tersebut dan menutupi provokasi serta pelanggarannya sendiri. Meski demikian, propaganda dan tindakan Filipina tersebut hanya menyebabkan rusaknya perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan serta memperumit masalah yang ada.

   Sementara itu, Filipina dikabarkan kemungkinan akan mengajukan arbitrase kedua terkait lingkungan laut. Padahal, selama ini justru pihak Filipina-lah yang menjadi perusak lingkungan laut utama di Laut China Selatan, ungkap sebuah laporan survei yang dirilis oleh China pada Senin (8/7). Kapal militer Filipina yang dikandangkan secara ilegal pada 1999 di Ren'ai Jiao di Nansha Qundao, China, telah menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut, menurut laporan itu.

Komentar Xinhua: Filipina harus berhenti menyalahgunakan arbitrase dan ganggu stabilitas di Laut China Selatan-Image-2

Foto tak bertanggal ini menunjukkan sebuah pelampung di sebelah utara kapal militer Filipina yang terdampar secara ilegal di perairan Ren'ai Jiao, China. (Xinhua/Pusat Ekologis Laut China Selatan dan Institut Penelitian Pengembangan Laut China Selatan di bawah naungan Kementerian Sumber Daya Alam China)

   Guna mengelola perselisihan antara kedua negara, menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan, serta menjunjung tinggi otoritas dan integritas hukum internasional, pihak Filipina harus berhenti memainkan kartu putusan itu dan menahan diri untuk tidak menyalahgunakan arbitrase.

   Sengketa di Laut China Selatan harus diselesaikan melalui dialog dan konsultasi. Hal ini tidak hanya selaras dengan tradisi budaya Timur, tetapi juga merupakan prinsip yang telah dijunjung tinggi oleh China dalam menyelesaikan sengketa internasional.

   Hubungan China-Filipina berada di persimpangan jalan. Satu-satunya pilihan yang tepat dan masuk akal bagi Filipina adalah menghormati fakta-fakta sejarah, menjunjung tinggi hukum internasional, dan kembali ke jalur negosiasi dan konsultasi.

   Filipina harus melangkah dengan hati-hati dan memilih arah yang benar alih-alih meneruskan arah yang keliru. Tidak ada faedahnya dengan berpura-pura sebagai korban atau meluncurkan kampanye disinformasi. Setiap penyalahgunaan arbitrase atau provokasi baru hanya akan mencoreng reputasi pemrakarsanya sendiri. Di samping itu, pihak yang bertindak sebagai pion hegemonisme dan imperialisme pada akhirnya hanya akan bernasib sebagai pihak yang dikorbankan.  Selesai