Lama Baca 6 Menit

Poin-poin Pidato Yang Jiechi dalam Pertemuan Bilateral US-China di Alaska

22 March 2021, 07:07 WIB

Poin-poin Pidato Yang Jiechi dalam Pertemuan Bilateral US-China di Alaska-Image-1

Pertemuan Bilateral AS-China di Anchorage, Alaska - Image from Nikkei Asia

Anchorage, Bolong.id - Pada Kamis (18/3/2021), Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) melakukan pertemuan bilateral di Hotel Captain Cook di Anchorage, Alaska, AS. Pertemuan ini dihadiri oleh Menteri Luar Negeri AS atau Secretary of State Antony Blinken, penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan, Direktur Komite Sentral Urusan Luar Negeri Tiongkok Yang Jiechi, dan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi.

Berikut ini poin-poin pidato Yang Jiechi yang juga sekaligus sebagai respon atas pidato Blinken dan Sullivan.

Yang membuka pidatonya dengan menyampaikan harapannya atas dialog yang tulus dan jujur antar dua negara. Ia menyebutkan bahwa sebagai dua negara besar di dunia, Tiongkok dan AS bersama-sama memikul tanggung jawab penting untuk perdamaian, stabilitas, serta perkembangan dunia dan kawasan.

Yang pun sempat menyebutkan berbagai pencapaian pembangunan Tiongkok. Beijing telah merumuskan rencana pembangunan ekonomi dan sosial lima tahun ke-14 dan tujuan jangka panjangnya hingga tahun 2035. Lebih lanjut lagi, Yang menekankan bahwa Tiongkok berada dalam tahun bersejarah, di mana Tiongkok telah menyelesaikan tujuan seratus tahun pertamanya dan siap menjalankan seratus tahunnya yang kedua.

Dikatakan, Tiongkok akan siap mencapai modernisasi dasar di 2035 dan melihat modernisasi penuh di
2050. Tak hanya itu, Yang juga mengingatkan audiens pada keberhasilannya menangani COVID-19 dan berhasil mengentaskan kemiskinan absolut di negaranya sejak bertahun-tahun lalu meski memiliki pendapatan per kapita hanya seperlima dari AS. Secara ideologis, Yang pun memuji keeratan rakyat Tiongkok pada Partai Komunis Tiongkok yang juga menganut nilai-nilai kemanusiaan seperti perdamaian, pembangunan, keadilan, keadilan, kebebasan dan demokrasi.

Ditegaskan oleh Yang dalam pertemuan tersebut, pembangunan Tiongkok bukan hanya tentang memberikan manfaat bagi rakyat Tiongkok, tetapi juga tentang memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia di abad ke-21. Tiongkok dan AS memikul tanggung jawab penting dalam berbagai isu global seperti COVID-19, pemulihan aktivitas ekonomi dunia, dan perubahan iklim.

Yang menyebutkan, kepentingan Beijing dan Washington sebenarnya sangat sejalan dan kerja sama harus dilakukan. Karenanya, mentalitas Perang Dingin dan pendekatan zero-sum game wajib ditinggalkan. Di abad 21, negara besar dan kecil harus bersatu untuk berkontribusi bagi masa depan umat manusia dan bersatu membangun hubungan internasional jenis baru, memastikan keadilan, keadilan, dan saling menghormati.

Namun, sangat disayangkan AS telah melakukan intervensi dan melakukan penindasan yang melampaui batas keamanan nasional dengan memanfaatkan hegemoni keuangan. AS menciptakan hambatan bagi aktivitas perdagangan normal dan bahkan telah mendorong beberapa negara untuk ‘melancarkan serangan’ ke Tiongkok. Tiongkok berharap AS dapat mengembangkan hubungan baik pada seluruh negara di Asia Pasifik.

Adapun Yang menyebutkan, dialog Sino-AS ini merupakan kelanjutan dari percakapan telepon Presiden Xi Jinping dan Presiden Joe Biden. Dalam telepon itu, kedua presiden mengharapkan peningkatan komunikasi, pengelolaan perbedaan, dan perluasan kerja sama antara kedua negara. Karenanya, berkaitan dengan itu, Tiongkok dengan tegas menentang campur tangan AS dalam urusan internal Tiongkok seperti terkait isu Xinjiang, Tibet, dan Taiwan yang merupakan wilayah tak terpisahkan dari Tiongkok. Tiongkok, kata Yang, telah menolak secara keras terhadap gangguan tersebut dan akan mengambil tindakan tegas sebagai tanggapan.

Ketika berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Yang pun mengharapkan AS untuk berbuat lebih baik. Isu seperti Black Lives Matter di AS bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja dan merupakan tantangan yang harus ditangani. Maka, Yang kembali menegaskan bahwa Tiongkok berharap kedua negara lebih baik mengelola urusan masing-masing.  

Selanjutnya, Yang mengingatkan bahwa meski Tiongkok dan AS telah mencapai banyak hal bersama, dunia terus berubah dan penting bagi kedua negara untuk memikirkan tentang langkah untuk memperluas kerja sama dalam keadaan baru. Gesekan antar kedua negara yang menurut Yang berfokus pada aspek ekonomi harus ditanggapi dengan cara yang rasional demi membuahkan hasil bagi kedua pihak tanpa konfrontasi. Lagipula, para pelaku bisnis di AS melihat peluang besar di Tiongkok dan memilih tanpa paksaan untuk menetap dalam lingkungan bisnis Tiongkok.

Yang pun berbicara terkait keamanan siber atau ruang maya. Tiongkok menilai bahwa AS berada di posisi terdepan dalam teknologi yang memungkinkan serangan siber, sehingga isu ini tentu tidak dapat dilemparkan kepada pihak lain.

Terakhir, Yang menekankan bahwa AS tidaklah mewakili opini publik internasional maupun negara-negara Barat. Dunia Barat pun tidak mewakili opini global. Maka, ketika membicarakan nilai-nilai universal, Yang berharap AS berpikir kembali karena opini AS tidak mewakili pemerintah dunia, mewakili hanya pemerintah AS. (*)