Lama Baca 9 Menit

Bahasa Mandarin Jembatani Hubungan China-Indonesia

05 July 2021, 10:49 WIB

Bahasa Mandarin Jembatani Hubungan China-Indonesia-Image-1

Bendera China dan Indonesia - Gambar diambil dari Internet, jika ada keluhan hak cipta silakan hubungi kami.

Jakarta, Bolong.id – Pembekuan hubungan diplomatik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada awal Orde Baru diikuti kebijakan pelarangan pembelajaran bahasa Mandarin.

Bahasa Mandarin tidak boleh diajarkan, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal dan tidak boleh digunakan di tempat umum. Buku-buku berbahasa Mandarin juga tidak diizinkan beredar di Indonesia. 

Secara bertahap, kemampuan berbahasa Mandarin masyarakat Indonesia menurun, termasuk di kalangan komunitas keturunan Tionghoa di Indonesia. Kebermanfaatan untuk berbahasa Mandarin mengecil. Anak muda pun tidak lagi melihat bahwa belajar bahasa Mandarin berguna. Hal ini berjalan lebih dari 25 tahun. 

Dilansir dari berbagai sumber, pada akhir masa Orde Baru, hubungan dagang kedua negara mulai dibuka. Dengan cepat, hubungan ekonomi Indonesia-Tiongkok meningkat pesat karena peningkatan volume perdagangan berbagai komoditas dan hasil manufaktur kedua negara. 

Pada akhir November 2020, volume dagang Indonesia dengan Tiongkok mencapai 63,4 miliar dollar AS. Angka ini jauh meningkat dibandingkan pada 1990 yang sebesar 1,28 miliar dollar AS.

Peningkatan volume dagang tersebut menempatkan Tiongkok sebagai mitra dagang utama bagi Indonesia. Namun, masih terdapat halangan dalam mempererat hubungan dagang Indonesia-Tiongkok, yakni penguasaan bahasa Mandarin.

Pada 2001, penulis menjabat Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Kementerian Pendidikan Nasional. Salah satu portofolio yang diemban saat itu adalah mengembangkan kursus-kursus keterampilan, salah satunya bahasa Mandarin yang banyak diminati, karena bersempadan dengan pembukaan hubungan dagang antara Indonesia dan Tiongkok. 

Waktu itu, jumlah kursus bahasa Mandarin masih sedikit. Proses pembelajarannya pun belum mengacu pada standardisasi kompetensi bahasa Mandarin secara internasional, yakni Hanyu Shuipoing Kaoshi (HSK). 

Tes HSK dikelola oleh Hanban, badan resmi negara Tiongkok yang bertanggung jawab untuk pengenalan bahasa Mandarin ke seluruh dunia. 

Jumlah kursus bahasa Mandarin pun berkembang pesat. Dari empat kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, pada 2000, menyebar ke 20 provinsi di Indonesia pada 2019. 

Dengan dukungan dari Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu, alm Prof Malik Fadjar, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memfasilitasi peningkatan jumlah kursus bahasa Mandarin ke berbagai provinsi. 

Untuk hal tersebut, Depdiknas juga bekerja sama dengan Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin (BKPBM) yang digawangi oleh komunitas masyarakat Tionghoa di Indonesia. Organisasi yang diketuai oleh Arifin Zain tersebut menjadi jembatan kolaborasi pendidikan Indonesia dan Tiongkok. Untuk peningkatan mutu pembelajaran, pemerintah Tiongkok membantu standardisasi kurikulum, peningkatan kemampuan instruktur, dan penyediaan bahan ajar. Upaya ini berhasil meningkatkan peserta tes HSK, dari 1.200 pada 2001 menjadi 17.784 pada 2019.

Pada 1990, hanya Universitas Indonesia sebagai institusi pendidikan tinggi yang mengadakan pengajaran dan penelitian bahasa Mandarin. Pada awal 2003, mulai ada diskusi intensif untuk memasukkan bahasa Mandarin sebagai salah satu pelajaran pilihan di sekolah-sekolah negeri. Baru pada Juni 2004, Depdiknas meresmikan rencana tersebut. Meski begitu, pengajaran bahasa Mandarin di sekolah-sekolah negeri terhambat oleh tenaga pengajar yang masih sedikit. Untuk itu, pemerintah Indonesia mengirim tenaga pengajar ke Tiongkok untuk mengikuti pelatihan pengajaran bahasa Mandarin. 

Pada 2003, Indonesia mengirim 51 guru Indonesia belajar selama sebulan ke Fouzhou dengan biaya ditanggung bersama. Kerja sama pendidikan berlanjut dengan mendatangkan 20 instruktur (guru volunter) bahasa Mandarin dari Tiongkok pada 2004. Mereka mengajar selama satu tahun di sekolah-sekolah mitra. Setelah penulis menjadi Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan pada 2005, dengan arahan Menteri Pendidikan Nasional Prof Bambang Sudibyo, jumlah instruktur dari Tiongkok ditingkatkan menjadi dua kali lipat dan mencapai puncak pada 2014 dengan 100 instruktur. Biaya hidup dan gaji para instruktur tersebut ditanggung oleh pemerintah Tiongkok. Mereka ditempatkan di SMA-SMA negeri dan swasta serta di pesantren yang membutuhkan. 

Hingga saat ini, pemerintah Tiongkok telah mengirim 1.020 instruktur pendidikan bahasa Mandarin. Mereka telah memberi pelajaran kepada 1,6 juta siswa di 20 provinsi. Bantuan tenaga pengajar asli tersebut didukung dengan bantuan buku teks, kolaborasi dari Depdiknas, BKPBM, dan Hanban. Menciptakan guru bahasa Mandarin Seiring dengan perkembangan pesat kebutuhan belajar bahasa Mandarin, kebutuhan pendidikan calon guru pun semakin meningkat. Namun, hingga 2005, belum ada perguruan tinggi (PT) di Indonesia yang memiliki Program Studi (Prodi) Pendidikan Guru Bahasa Mandarin. 

Masalah utama saat itu adalah untuk membuka prodi tersebut, universitas harus memiliki minimal enam dosen dengan kualifikasi S2 Pendidikan Bahasa Mandarin. Ini berarti, selama kampus belum menyediakan prodi Pendidikan Bahasa Mandarin, tenaga pendidik pun belum bisa dicetak. Pasalnya, untuk menjadi guru bahasa Mandarin, seseorang harus mengantongi ijazah S1 prodi Pendidikan Bahasa Mandarin. Lalu, untuk bisa mengajar di prodi Pendidikan Bahasa Mandarin, seseorang juga harus memiliki ijazah S2. Kedua ekosistem ini, baik prodi S1 maupun S2 Pendidikan Bahasa Mandarin, belum ada di Indonesia.

Saat menjabat sebagai Dirjen Pendidikan Tinggi pada 2007, penulis melihat kesempatan untuk mengurai masalah pendidikan guru bahasa Mandarin. Di berbagai negara yang membutuhkan dan dianggap layak oleh Hanban, pemerintah Tiongkok membantu pembangunan Pusat Bahasa Mandarin (PBM). Oleh Tiongkok, lembaga itu disebut sebagai Confucius Institute. Fungsinya adalah melaksanakan pembelajaran bahasa Mandarin, melatih guru atau calon guru, melaksanakan tes HSK, dan menjadi pusat informasi bahasa dan budaya Tiongkok. 

Kemudian, penulis mengadakan pendekatan kepada Dirjen Hanban, yaitu Ibu Xu Lin. Hanban pun mendukung pengembangan PBM di sejumlah PT di Indonesia. Kesempatan untuk membuka prodi S1, baik untuk Sastra dan Bahasa Mandarin maupun prodi Pendidikan Guru Bahasa Mandarin ditawarkan kepada universitas. Bila terpilih, universitas di Indonesia akan dimitrakan dengan satu PT yang mendidik calon guru dari Tiongkok. 

Tugas universitas mitra adalah memperbantukan dosen-dosen yang diperlukan, membangun kurikulum bersama PT di Indonesia, menyeleksi dan menyiapkan calon dosen dari universitas di Indonesia, memberikan beasiswa bagi minimal 6 orang dosen PT Indonesia untuk belajar S2 di PT mitra Tiongkok, serta mulai membantu pelaksanaan kuliah S1 di PT Indonesia. Harapannya, sesudah 3-4 tahun, semua dosen dengan kualifikasi akademik minimal S2 sebanyak 6 orang pada setiap PT sudah terpenuhi. 

Keseluruhan pembelajaran prodi Sastra dan Bahasa Mandarin maupun prodi Pendidikan Guru Bahasa Mandarin sudah bisa dilaksanakan secara penuh oleh PT Indonesia. Melalui skema kerja sama seperti di atas, pemerintah Tiongkok membantu pengembangan PBM di Universitas Hasanuddin bermitra dengan Nanchang University, Universitas Kristen Maranatha bermitra dengan Hebei Normal University, Universitas Al-Azhar Indonesia bermitra dengan Fujian Normal University. Kemudian, Universitas Tanjungpura bermitra dengan Guangxi Universities for Nationalities, Universitas Negeri Surabaya bermitra dengan Huazhong University, dan Universitas Negeri Malang bermitra dengan Guangxi Normal University. 

Terakhir, pada 2019, PBM didirikan di Universitas Sebelas Maret dan di Universitas Udayana. Setiap tahun, tidak kurang dari 20.000 mahasiswa belajar di berbagai di PBM di Indonesia. Kesempatan Hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok telah berjalan 70 tahun. Indonesia adalah negara di kawasan Asia Tenggara yang pertama kali mengakui eksistensi Tiongkok. 

Eratnya hubungan kedua bangsa berlanjut beberapa dekade di bawah pimpinan Soekarno hingga dimulainya masa Orde Baru. Hubungan tersebut kemudian renggang di awal masa Orde Baru. Baru pada akhir Orde Baru, kedua negara memperbaiki hubungan diplomatis. Perbaikan hubungan kedua negara berjalan karena adanya kemauan memahami perbedaan, termasuk dalam bahasa dan budaya. Perbaikan hubungan ekonomi dan diplomasi tidak serta-merta terjadi begitu saja, tetapi membutuhkan waktu yang panjang. (*)