
Bolong.id - Pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC 2025 di Republik Korea mengusung tema “Building a Sustainable Future: Connectivity, Innovation and Prosperity.” Tema ini mencerminkan aspirasi kolektif kawasan Asia-Pasifik untuk menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkualitas tinggi di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Sebagai salah satu pemangku kepentingan utama di kawasan, Tiongkok telah lama berkomitmen terhadap keberhasilan APEC. Komitmen ini akan menjadi sorotan ketika negeri tersebut mengambil alih kursi ketua APEC pada 2026, sebuah momen yang dinantikan banyak pihak. Dengan rekam jejak kontribusi nyata terhadap kemakmuran regional dan berbagai inisiatif konkret untuk pembangunan inklusif, ekspektasi terhadap kepemimpinan Tiongkok sangat tinggi.
Konteks Baru Lahirnya Global Governance Initiative (GGI)
Dalam lanskap global yang tengah bergejolak, Tiongkok memperkenalkan Global Governance Initiative (GGI) – sebuah kerangka kerja pragmatis untuk mereformasi tata kelola global. Inisiatif ini bukan sekadar langkah diplomatik, melainkan kelanjutan logis dari gagasan besar Tiongkok sebelumnya: Global Development Initiative (GDI), Global Security Initiative (GSI), dan Global Civilization Initiative (GCI).
GGI hadir sebagai respons terhadap defisit tata kelola global. Banyak lembaga internasional kini kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan kekuatan dunia. Akibatnya, muncul kebuntuan institusional, kesenjangan representasi, dan jurang pembangunan yang semakin lebar semuanya diperparah oleh ketegangan geopolitik yang meningkat.
Asia-Pasifik di Persimpangan
Bagi Asia-Pasifik, konsekuensinya nyata. Kawasan ini sedang memperdalam integrasi ekonomi, namun menghadapi tantangan besar: kesenjangan digital, ancaman perubahan iklim, kerentanan rantai pasok, serta meningkatnya proteksionisme. Di tengah situasi ini, kawasan membutuhkan kerangka tata kelola yang lebih inklusif dan efektif.
GGI: Jawaban atas Tantangan Tata Kelola Global
GGI menawarkan solusi dengan menegaskan pentingnya multilateralisme sejati, penghormatan terhadap kedaulatan nasional, dan pengakuan atas keragaman jalur pembangunan. Prinsip-prinsip ini bertujuan menyeimbangkan kembali sistem global agar lebih adil dan representatif.
Bagi ekonomi terbuka seperti di Asia-Pasifik, GGI berfungsi sebagai perisai institusional untuk menjaga keterbukaan, mengurangi risiko “decoupling,” dan menahan tekanan unilateral yang dapat memecah belah kawasan.
1. Konektivitas: Menyatukan Kawasan Melalui Integrasi Nyata
GGI memperkuat konektivitas dengan mendorong integrasi regional yang lebih dalam. Dengan menegakkan hukum internasional dan multilateralisme sejati, GGI mendukung efektivitas kerangka kerja seperti APEC dan RCEP, sekaligus memfasilitasi penghapusan hambatan perdagangan.
Dalam sinergi dengan GDI, GGI menekankan dua aspek konektivitas:
Konektivitas keras (hard connectivity): diwujudkan melalui proyek-proyek unggulan Belt and Road Initiative (BRI), seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung yang secara fisik menghubungkan ASEAN.
Konektivitas lunak (soft connectivity): berupa aturan dan standar tata kelola yang menjamin integrasi berjalan mulus.
GGI juga mendorong rantai pasok yang tangguh dan beragam, bukan yang eksklusif dalam blok-blok ekonomi tertutup sebuah langkah penting untuk melawan narasi “pemutusan hubungan ekonomi” yang kian menguat.
2. Inovasi: Membangun Masa Depan Digital yang Inklusif
Dalam bidang inovasi, GGI membuka jalan bagi pembangunan berkelanjutan dan inklusif, dengan fokus pada tata kelola di sektor frontier seperti ekonomi digital, keamanan data, dan kecerdasan buatan (AI).
Tiongkok sendiri telah menjadi kekuatan digital utama di APEC, dengan ekonomi digital yang mencapai lebih dari 41% dari PDB-nya pada 2022. Usulannya untuk menciptakan aturan digital yang inklusif dan bebas dari hegemoni teknologi mendapat sambutan positif dari banyak negara berkembang yang ingin ikut serta dalam revolusi digital global.
Tak hanya itu, GGI juga mendorong kerja sama iklim yang nyata. Pada 2023, investasi Tiongkok di sektor energi bersih – termasuk tenaga surya, angin, dan kendaraan listrik mencapai 890 miliar dolar AS, jumlah yang melampaui total investasi seluruh dunia. Fakta ini memperlihatkan bahwa GGI bukan hanya konsep, tetapi model aksi nyata menuju masa depan hijau.
3. Kemakmuran: Menuju Tata Ekonomi yang Lebih Adil
Pilar ketiga GGI adalah prosperity – kemakmuran bersama. Salah satu prinsip utamanya adalah reformasi tata kelola ekonomi global untuk memperkuat suara negara berkembang.
Inilah semangat di balik pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang telah menyetujui ratusan proyek infrastruktur berkelanjutan di Asia.
Melalui GDI, Tiongkok juga membagikan pengalaman suksesnya dalam mengentaskan hampir 800 juta penduduk dari kemiskinan ekstrem, bukan sebagai model kaku, tetapi inspirasi yang bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Langkah ini memperkokoh dasar bagi kemakmuran bersama di seluruh kawasan.
Menuju Masa Depan Bersama yang Terbuka dan Stabil
GGI bukan strategi politik semata, melainkan jawaban atas tantangan global bersama, berakar pada pengalaman nyata pembangunan Tiongkok. Inisiatif ini selaras sepenuhnya dengan tema APEC 2025 konektivitas, inovasi, dan kemakmuran serta menawarkan mekanisme konkret untuk mewujudkannya.
Bagi negara-negara tetangga, GGI menjadi bukti bahwa Tiongkok berupaya membangun tatanan dunia yang lebih adil, terbuka, dan berkelanjutan.
Asia-Pasifik memiliki masa depan yang menjanjikan masa depan integrasi, bukan fragmentasi.
Dengan berpartisipasi aktif dalam GGI, kawasan ini dapat menciptakan fondasi yang lebih kuat untuk stabilitas, keterbukaan, dan kemakmuran bersama, sekaligus menyumbangkan kebijaksanaan khas Asia bagi komunitas global yang benar-benar bersatu. (*)
Informasi Seputar Tiongkok
Advertisement
