Lama Baca 4 Menit

Hubungan Tiongkok-Jepang Tidak Tentu Pasca-Abe?

14 September 2020, 15:45 WIB

Hubungan Tiongkok-Jepang Tidak Tentu Pasca-Abe?-Image-1

Hubungan Tiongkok-Jepang Tidak Tentu Pasca-Abe? - gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami

Beijing, Bolong.id - Partai Demokrat Liberal Jepang akan memilih pemimpin barunya pada hari Senin (14/9/2020) ini yang pada dasarnya juga akan menggantikan Shinzo Abe yang mengundurkan diri sebagai perdana menteri di negara itu. Tetapi karena meningkatnya sikap garis keras terhadap Tiongkok membawa ketidakpastian pada hubungan Tiongkok-Jepang, analis Tiongkok memperingatkan bahwa hubungan bilateral yang memburuk akan membawa kerugian bagi Jepang.

Tiga kandidat yang bersaing untuk menjadi penerus Abe adalah Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga yang telah menjadi tangan kanan Abe selama hampir delapan tahun, Shigeru Ishiba selaku mantan menteri pertahanan dan kritikus Abe dalam partai, dan Fumio Kishida selaku kepala kebijakan dan mantan menteri luar negeri Jepang, dilansir dari Global Times, Senin (14/9/2020).

Suga berjanji pada hari Sabtu (12/9/2020) lalu untuk mempertahankan pendiriannya dengan Beijing, mengatakan dia tidak akan takut untuk mengungkapkan klaim Jepang kepada Tiongkok jika dia menjadi perdana menteri, menurut media Jepang the Nikkei Asian Review.

"Jika ada pernyataan yang harus dibuat, saya akan membuat pernyataan itu pada pembicaraan tingkat tinggi," kata calon pemimpin baru Jepang tentang hubungan Tiongkok-Jepang selama debat dengan dua saingannya untuk kursi tertinggi partai politik yang berkuasa di Jepang, Fumio Kishida dan Shigeru Ishiba.

Saingan utama Suga, Ishiba, bahkan lebih radikal terhadap Tiongkok selama debat hari Sabtu (12/9/2020). Menurut media Taiwan can.com, Ishiba mengklaim bahwa Kepulauan Diaoyu Tiongkok adalah "wilayah yang melekat pada Jepang" dan mengatakan bahwa kebijakan Tiongkok baru-baru ini di Hong Kong akan memengaruhi Taiwan, dan Jepang tidak boleh hanya "duduk dan menonton itu terjadi".

Da Zhigang, direktur dan rekan peneliti Institut Studi Asia Timur Laut di Akademi Ilmu Sosial Provinsi Heilongjiang dan kepala ahli di Institut Studi Strategis Asia Timur Laut, mengatakan sikap keras para kandidat terhadap Tiongkok tidak selalu mengarah pada jalan buntu pada hubungan Tiongkok-Jepang.

"Jepang tidak akan sepenuhnya meninggalkan kerja sama yang telah dirundingkan sebelumnya, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan," ujarnya.

"Di satu sisi, Tiongkok akan membalas Jepang jika membuat provokasi di masa depan," kata Da, sembari menambahkan. "Di sisi lain, Tiongkok akan merilis sinyal persahabatan untuk mendorong Jepang meningkatkan kerja sama saling menguntungkan."

Lü Yaodong, direktur Institut Studi Jepang Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, mengatakan bahwa beberapa retorika keras mereka adalah berkampanye untuk pemilihan. "Kami harus meninjau kembali kebijakan mereka setelah pemilu. Suga, misalnya, mengklaim akan mewarisi politik dalam dan luar negeri Abe. Tapi kami baru tahu (apakah terealisasikan) ketika dia menjabat."

Sebelum mengumumkan pengunduran dirinya, Abe melakukan upaya untuk mewujudkan kesepakatan kerja sama trilateral dengan Tiongkok dan Korea Selatan untuk mendorong dimulainya kembali pasca pandemi dan pemulihan ekonomi untuk Asia Timur Laut, namun karena memburuknya hubungan dengan Korea Selatan dan Tiongkok, Jepang tidak mungkin melanjutkan kesepakatan. Para analis menganggap bahwa ini akan merugikan Jepang.

Lü mencatat bahwa dalam jangka panjang, akan selalu ada masalah antara Tiongkok dan Jepang. "Tapi kita harus duduk dan bernegosiasi satu sama lain, dengan mempertimbangkan perubahan dalam periode sejarah yang berbeda, dan kemudian mengambil langkah bersama untuk meningkatkan hubungan Tiongkok-Jepang," katanya. (*)