Lama Baca 5 Menit

Sistem Kesehatan Tiongkok: Solusi atau Ilusi Bagi Indonesia?

31 July 2025, 16:15 WIB

Sistem Kesehatan Tiongkok: Solusi atau Ilusi Bagi Indonesia?-Image-1
Peneliti pengobatan Tiongkok di dalam laboratorium, Beijing. (Getty Images)

Jakarta, Bolong.id - Pasca pandemi COVID-19, perhatian global terhadap pentingnya sistem kesehatan yang tangguh meningkat tajam. Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem kesehatan yang inklusif, terjangkau, dan siap menghadapi ancaman kesehatan di masa depan. Di tengah upaya tersebut, Tiongkok muncul sebagai mitra strategis yang memainkan peran penting dalam mendukung transformasi sektor kesehatan Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, kolaborasi antara Indonesia dan Tiongkok di sektor kesehatan menunjukkan perkembangan signifikan—tidak hanya dalam bentuk investasi modal, tetapi juga dalam transfer pengetahuan, teknologi, dan diplomasi kesehatan.

Salah satu momentum penting adalah kerja sama antara Indonesia Investment Authority (INA) dan GL Capital, perusahaan ekuitas swasta asal Tiongkok yang fokus pada sektor kesehatan. Melalui kemitraan ini, INA menegaskan bahwa sektor kesehatan menjadi prioritas utama, mencakup investasi di bidang farmasi, rumah sakit, klinik, dan laboratorium diagnostik.

“Melalui portofolio kami yang mencakup manufaktur farmasi, distribusi, rumah sakit, apotek, klinik, dan laboratorium diagnostik, kami optimistis bahwa diskusi dengan GL Capital dan perusahaan-perusahaan kesehatan terkemuka dari Tiongkok akan menjadi dasar kolaborasi masa depan yang dapat meningkatkan inovasi dan akses kesehatan di Indonesia,” ujar Ridha Wirakusumah, Ketua Dewan Direktur INA dalam pernyataan resminya.

Sementara itu, perusahaan seperti Zybio—salah satu pemain besar dalam bidang diagnostik in vitro di Tiongkok—telah menyatakan komitmennya untuk memperluas operasional mereka di Indonesia. “Kami telah memiliki aktivitas dan tim di Indonesia, dan kami sedang mempertimbangkan untuk memperluas kehadiran kami,” ujar Chairman Zybio, Quan Ji.

Belajar dari Reformasi Kesehatan Tiongkok

Tiongkok bukan hanya datang dengan dana, tapi juga membawa pengalaman reformasi sistem kesehatan yang layak dicermati. Sejak 2009, negara tersebut telah memperluas cakupan asuransi kesehatan dasar hingga mencakup lebih dari 95% penduduk, mengurangi ketimpangan layanan dan meningkatkan efisiensi sistem secara keseluruhan.

Inisiatif seperti Healthy China 2030 menandai pergeseran sistem dari pendekatan reaktif berbasis pengobatan menuju sistem proaktif yang menekankan pencegahan, promosi kesehatan, dan manajemen penyakit kronis. Pendekatan ini terbukti efektif dalam membangun fondasi kesehatan masyarakat yang lebih kuat dan terintegrasi, terutama melalui layanan tingkat desa dan klinik komunitas.

Dampak Sosial di Indonesia

Di Indonesia, kolaborasi ini berpotensi memberikan dampak sosial yang luas. Bagi masyarakat di wilayah terpencil seperti Indonesia bagian timur, perluasan layanan kesehatan berbasis komunitas bisa menjadi kunci transformasi kualitas hidup. Investasi dalam infrastruktur dan teknologi medis, seperti AI untuk pemantauan kesehatan dan digitalisasi sistem, membuka peluang baru dalam pemerataan layanan.

Selain itu, pendekatan diplomasi kesehatan—di mana kerja sama kesehatan menjadi bagian dari strategi hubungan luar negeri Indonesia—semakin memperkuat posisi negara ini sebagai pemimpin kawasan dalam inovasi kesehatan.

Namun, tantangan tetap ada. Seperti halnya Tiongkok yang menghadapi ketimpangan implementasi di daerah pedesaan akibat kepentingan ekonomi lokal, Indonesia juga harus memastikan bahwa kolaborasi ini tidak hanya berakhir di kota-kota besar, tetapi menyentuh masyarakat lapisan bawah yang selama ini terpinggirkan dari akses kesehatan memadai.

Menuju 2045: Visi Kesehatan yang Terintegrasi

Dengan visi Indonesia Emas 2045, kesehatan harus ditempatkan sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa keberhasilan reformasi kesehatan tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan yang kuat, sinergi antar kementerian, dan keberanian mengambil keputusan berbasis manfaat jangka panjang.

Kolaborasi dengan Tiongkok, bila dijalankan secara transparan dan berorientasi pada rakyat, bukan hanya soal pembangunan rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Ini soal membangun ketahanan sosial, memberdayakan masyarakat, dan memastikan bahwa setiap warga negara—tanpa memandang latar belakang ekonomi—memiliki hak dan akses terhadap layanan kesehatan yang layak (Bryant).